A. Etiologi
Diabetes
Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun,
tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak
populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum
sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup
besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi
lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan (Depkes, 2005).
Penyebab DM adalah aktivitas insulin
yang tidak memadai baik karena sekresi insulin yang berkurang (IDDM) atau
karena adanya resistensi insulin pada jaringan-jaringan yang peka insulin
(NIDDM) (Suharmiati, 2003). Menurut Utami (2003), faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan diabetes melitus adalah sebagai berikut:
a.
Genetik atau Faktor
Keturunan
Para
ahli kesehatan menyebutkan bahwa sebagian besar penderita diabetes melitus juga
memiliki riwayat keluarga penderita diabetes. Dengan begitu dapat dikatakan
bahwa diabetes melitus cenderung diturunkan bukan ditularkan (Utami et al, 2003).
b.
Virus dan Bakteri
Virus
yang diduga menyebabkan diabetes melitus adalah rubella, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Virus-virus tersebut menyerang mekanisme infeksi
sitolitik pada sel beta yang mengakibatkan destruksi atau perusakan sel melalui
reaksi autoimunitas yang menyebabkan hilangnya autoimun pada sel beta (Utami et al, 2003).
c.
Bahan Toksik dan Obat-Obatan
Beberapa
bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah aloksan, pyrinuron (rodentisida), dan
streptozotosin (produk dari sejenis jamur), glikosida sianogenik dari singkong
yang dapat melepaskan sianida (Utami et
al, 2003). Beberapa obat-obatan juga diperkirakan dapat mengganggu proses
pelepasan insulin dari sel beta pankreas yakni fenitoin, diuretika terutama
tiazid, dan sebagian lagi dengan cara menginduksi resistensi insulin yakni
golongan obat kortikosteroid dan beberapa kontrasepsi oral, misalnya estrogen
dan progesteron (Greenspan dan Baxter, 2000).
d. Nutrisi
Nutrisi
yang berlebihan merupakan faktor resiko pertama yang diketahui dapat
menyebabkan diabetes melitus. Obesitas memainkan suatu peranan dalam
perkembangan diabetes klinis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah
reseptor insulin di otot rangka, hati dan jaringan adiposa pada orang obese
lebih sedikit daripada jumlah reseptor pada orang yang kurus. Namun kebanyakan
resistensi insulin disebabkan kelainan jarak sinyal yang menghubungkan reseptor
yang teraktivasi dengan berbagai efek selular. Gangguan sinyal insulin
disebabkan efek toksik dari akumulasi lipid di jaringan seperti otot rangka dan
hati akibat kelebihan berat badan (Guyton dan Hall, 2007).
B. Patofisiologi
Diabetes melitus (DM)
tipe 2 ini disebut juga Non Insulin
Dependent Diabetes Melitus (NIDDM). Penderita DM tipe 2 mencapai 90% dari
kasus diabetes (Wells et al, 2009).
DM Tipe 2 memiliki ciri khas yaitu onset hiperglikemia terjadi dengan lambat
dan sedikit demi sedikit, serta terkadang tidak menunjukan gejala. Penyebab
terjadinya disfungsi metabolik pada DM tipe 2 yaitu kombinasi faktor genetik
dan faktor lingkungan atau gaya hidup, seperti kalori
yang berlebihan, latihan yang tidak memadai, dan obesitas. Peningkatan kadar
glukosa darah pada DM tipe 2 terjadi akibat peningkatan resistensi insulin
(kualitas insulin tidak baik) sedangkan sekresi insulin tidak memadai, sehingga
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin (Burns et al., 2008).
Pada kondisi kerja insulin normal,
ketika periode puasa, glukosa diproduksi di hati melalui glikogenolisis.
Glukosa diproduksi untuk memberikan suplai pada otak. Ketika periode makan,
kadar glukosa darah akan meningkat dan
respon sekresi-insulin terjadi dalam 2 fase. Fase awal respon insulin
yang terjadi kira-kira 10 menit dan akan menekan produksi glukosa hepatik. Aksi
insulin ini akan meminimalisasi hiperglikemia selama waktu makan dan selama
periode setelah makan. Pada fase kedua, terjadi peningkatan sekresi insulin
sedikit demi sedikit yang menstimulasi penyerapan glukosa oleh jaringan
perifer. Sekitar 80% hingga 85% metabolisme glukosa pada fase ini terjadi di
otot. Pelepasan insulin secara perlahan akan memberikan waktu untuk tubuh merespon
pemasukan glukosa baru dari sistem pencernaan, sementara kadar glukosa darah
dikontrol (Burns et al., 2008).
Dalam keadaan normal, artinya sekresi
insulin cukup dan insulin sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor
insulin pada permukaan sel otot, kemudian membuka pintu masuk sel sehingga
glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk kemudian dimetabolisme menjadi energi.
Akibatnya kadar glukosa darah tetap normal (Suyono, dkk., 2011).
Patogenesis DM tipe 2 disebabkan
terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin dapat terjadi pada otot skeletal
dan pada hati. Resistensi insulin memberikan dampak yaitu penyerapan glukosa
menjadi terganggu akibat reseptor sel
tidak respon terhadap insulin, serta produksi glukosa hepatik selama periode
makan tidak dapat dihentikan. Kedua dampak ini merupakan pencetus terjadinya
peningkatan kadar glukosa darah dan hiperglikemia (Burns et al., 2008).
Resistensi insulin dapat terjadi
akibat sel penghasil insulin, yaitu sel β mengalami penurunan fungsi. Kondisi
obesitas merupakan kondisi yang memicu penurunan fungsi sel β. Jaringan lemak
yang tinggi pada penderita obesitas menyebabkan peningkatan produksi asam lemak
bebas melalui proses lipolisis. Asam lemak bebas dilepaskan ke sirkulasi darah
dan mengalir ke hati, kemudian mengalami metabolisme non oksidatif menjadi
ceramide yang toksik terhadap sel β hingga terjadi apoptosis sel beta. Selain
itu, kadar glukosa darah yang tinggi dalam jangka waktu lama akan menyebabkan
peningkatan stress oksidatif, IL-1β dan
NF-kB dengan akibat peningkatan apoptosis sel β (Dipiro et al., 2005; Suyono, dkk., 2011).
C. Gejala dan Data
Klinik (Clinical Presentation)
Pasien dengan DM tipe 2 sering tidak menunjukkan
gejala dan diketahui mengalami penyakit ini setelah melakukan tes glukosa
darah. Namun gejala seperti kelesuan, sering berkemih (poliuria), nokturia, dan
polidipsia dapat dilihat pada diagnosis diabetes tipe 2, tapi penurunan berat
badan yang signifikan jarang diamati pada pasien diabetes tipe ini (Dipiro et al., 2008). Presentasi klinik yang
terjadi pada pasien diabetes melitus tipe 2 ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel
1 Data Klinik (Clinical Presentation)
Pasien DM Tipe 2 (Dipiro et al.,
2008)
Karakteristik
|
Diabetes
Melitus Tipe 2
|
Usia
|
>30 tahun
|
Onset
|
Bertahap
|
Body
habitus
|
Obesitas atau
riwayat obesitas
|
Resistensi
insulin
|
Terdapat resistensi insulin
|
Autoantibodi
|
Autoantibodi jarang hadir
|
Gejala
|
Sering asimtomatik
|
Diagnosis
keton
|
Tidak ada
|
Kebutuhan
terapi insulin
|
Beberapa tahun setelah diagnosis
|
Komplikasi
akut
|
Hiperglikemia, hiperosmolar
|
Komplikasi
mikrovaskuler pada diagnosis
|
Sering terjadi
|
Komplikasi
makrovaskuler pada diagnosis
|
Sering terjadi
|
D.
Terapi
(Non Farmakologi dan Farmakologi)
Tatalaksana terapi
diabetes mellitus tipe 2 ditampilkan dalam algoritma berikut.
1.
Terapi Non Farmakologi
Terapi
non farmakologi merupakan terapi tanpa obat yang merupakan langkah pertama yang
harus dilakukan dalam penatalaksanaan DM.
a. Pengaturan diet
Tujuan utama terapi
diet pada DM tipe 2 adalah menurunkan dan mengendalikan berat badan di samping
mengendalikan kadar gula dan kolesterol. Penurunan berat badan pada pasien DM
tipe 2 yang mengalami obesitas umumnya akan menurunkan resistensi insulin.
Selain itu, dengan adanya intervensi diet pada pasien DM tipe 2, dapat menghasilkan
status gizi yang adekuat serta menghasilkan kebugaran dan rasa nyaman tubuh,
karena pengendalian gula darah dapat menghilangkan keluhan mudah lelah, sering
pusing atau sakit kepala, kram, kesemutan, gatal-gatal, dan sebagainya
(Hartono, 2006).
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein, dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut: karbohidrat (60-70%), protein (10-15%), dan lemak (20-25%). Jumlah
kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, dan kegiatan fisik
yang pada dasarnya ditujukan untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal. Sumber lemak diupayakan berasal dari bahan nabati yang mengandung lebih
banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber
protein sebaiknya diperoleh dari ikan, tahu, dan tempe, karena tidak banyak
mengandung lemak. Makanan berserat sangat penting bagi penderita diabetes
melitus, karena dapat menghambat penyerapan lemak serta makanan berserat yang
tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang
kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih (Depkes
RI, 2005).
b.
Olahraga
Berolahraga
secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal.
Olahraga yang dilakukan harus disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
penderita. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive,
dan Endurance Training), antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda dan berenang. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama
30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan 5-10 menit. Olahraga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam
tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes
RI, 2005).
2. Terapi
Farmakologi
Langkah pertama dalam penatalaksanaan DM adalah terapi tanpa
obat, namun apabila penatalaksanaan terapi ini belum berhasil mengendalikan
kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa
penatalaksanaan terapi obat (Depkes RI, 2005).
a.
Obat Hipoglikemik Oral
Obat
hipoglikemik yang mampu mensekresikan insulin, yaitu:
1)
Sulfonilurea
Golongan
obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin
yang tersimpan, sehingga hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih
mempunyai kemampuan untuk mensekresi insulin (Waspadji, 2011).
2)
Glinid
Glinid memiliki cara kerja yang sama
dengan sulfonilurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama (Waspadji,
2011).
Obat
hipoglikemik yang dapat menambah sensitivitas terhadap insulin, yaitu:
1) Biguanida
Obat
hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati, menurunkan
produksi glukosa hati. Senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat
hipoglikemik oral saat ini adalah metformin (Depkes RI, 2005).
2) Tiazolidindion
Tiazolidindion bekerja dengan
meningkatkan glukosa diposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa di hati (Waspadji, 2011).
Obat hipoglikemik oral sebagai penghambat glukosidase alfa,
yaitu:
1) Penghambat Glukosidase Alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa di dalam saluran cerna, sehingga dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial (Waspadji, 2011).
b.
Insulin
Insulin adalah polipeptida yang
mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai (A dan B) dan
dihubungkan oleh ikatan disulfida dan diproduksi langsung di dalam sel beta
pankreas (Neal, 2006).
Prinsip terapi insulin diindikasikan untuk:
1. Semua penderita DM tipe 1 yang memerlukan insulin eksogen,
karena produksi insulin endogen oleh sel-sel beta pankreas hampir tidak ada.
2. Penderita DM tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan
terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah.
3. Keadaan stres berat seperti pada infeksi berat, tindakan
pembedahan, infark miokard akut atau stroke.
4. Pasien dengan ketoasidosis diabetik.
5. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang
memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat, secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan
kadar glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau
ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
6. Pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat.
7. Pasien yang kontraindikasi atau alergi terhadap obat
antidiabetika oral. (Depkes RI, 2005)
Efek kerja insulin adalah
membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin
menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel,
akibatnya glukosa darah akan meningkat dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan
bahan sumber energi (Depkes RI, 2005).
Sediaan untuk terapi terbagi menjadi beberapa golongan yaitu: insulin masa kerja singkat (short-acting insulin), insulin masa
kerja sedang (intermediate-acting insulin),
insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat dan insulin masa kerja
panjang (long-acting insulin) (Depkes
RI, 2005).
Tabel 2. Penggolongan Sediaan Insulin Berdasarkan Mula
dan Masa Kerja
Jenis sediaan
Insulin
|
Mula kerja
(jam)
|
Puncak
(jam)
|
Masa kerja
(jam)
|
Masa kerja singkat
|
0,5
|
1-4
|
6-8
|
Masa kerja sedang
|
1-2
|
6-12
|
18-24
|
Masa kerja sedang, mula
kerja cepat
|
0,5
|
4-15
|
18-24
|
Masa kerja panjang
|
4-6
|
14-20
|
24-36
|
(Depkes RI, 2005)
Refference:
Burns, M.A.C.,
Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer,
J.C., and Dipiro, J.T. 2008. Pharmacotherapy:
Principles & Practice. USA: McGraw-Hill Companies. p. 645-647.
Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care
Untuk Penyakit Diabetes Melitus.Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dipiro, Joseph .T., Robert L.
Talbert., Gary C. Yee., Gary R. Matzke., Barbara G. Wells and L. Michael Posey.
2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach, Seventh Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Greenspan, F.S.
dan Baxter, J.D. 2000. Endokrinologi
Dasar dan Klinik, Edisi 4. Penerjemah: Wijaya, C. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Guyton, A. C. and John,
E. H. 2007. Fisiologi Kedokteran.
Terjemahan: Irawati. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Suharmiati.
2003. Pengujian Anti Diabetes Mellitus Tumbuhan Obat. Cermin Dunia Kedokteran, 140: 8 – 13.
Utami, Prapti, dan Tim
Lentera. 2003. Tanaman Obat untuk
Mengatasi Diabetes Mellitus. Tangerang: Agromedia Pustaka.
Suyono, S.,
Soegondo, S., Waspadji, S., Sukardji, K., Ilyas, E.I., Basuki, E., Soewondo,
P., dkk. 2011. Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hal. 12-17.
Waspadji,
Sarwono, Kartini Sukardji, Meida Octarina. 2004. Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment