1.
ETIOLOGI
Diabetes tipe I
ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi faktor genetik,
imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya, infeksi virus) diperkirakan
turut menimbulkan destruksi sel beta.
Faktor-faktor
Genetik. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I
itu sendiri; tetapi, mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke
arah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA ( Human Leucocyte Antigen ) tertentu.
HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi
dan proses imun lainnya. Sembilan puluh lima persen pasien berkulit putih (
Caucasian ) dengan diabetes tipe I memperlihatkan tipe HLA yang spesifik ( DR3
atau DR4 ). Resiko terjadinya diabetes tipe I meningkat tiga hingga lima kali
lipat pada individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Resiko
tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memiliki
tipe HLA DR3 maupun DR4 ( jika dibandingkan dengan populasi umum.
Faktor-faktor
Imunologi. Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu
respon autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal di mana antibodi terarah
pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Autoantibodi terhadap sel-sel
pulau Langerhans dan insulin endogen ( internal ) terdeteksi pada saat
diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis
diabetes tipe I yang baru terdiagnosis atau pada pasien pradiabetes ( pasien
dengan antibodi yang terdeteksi tetapi tidak memperlihatkan gejala klinis
diabetes ). Riset lainnya menyelidiki efek protektif yang ditimbulkan insulin
dengan dosis kecil terhadap fungsi sel beta.
Faktor-faktor
Lingkungan. Penyelidikan juga sedang dilakukan
terhadap kemungkinan faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel
beta. Sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau
toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel
beta ( Smeltzer and Bare, 2002 ). Selain itu, stress metabolik
juga menjadi salah satu faktor pemicu timbulnya penyakit ini ( Greene et al,
2000 ).
Interaksi antara
faktor-faktor genetik, imunologi dan lingkungan dalam etiologi diabetes tipe I
merupakan pokok perhatian riset yang terus berlanjut. Meskipun kejadian yang
menimbulkan destruksi sel beta tidak dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan
bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar yang melandasi proses
terjadinya diabetes tipe I merupakan hal yang secara umum dapat diterima (Smeltzer and Bare, 2002 ).
2.
PATOFISIOLOGI
Pada diabetes tipe 1
terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas
telah dihancurkan oleh proses autoimun. Antibodi melawan semua sel terutama sel
beta, yang ditemukan dalam 80% pasien. Sebagai penyakit autoimun, riwayat
penyakit dari keturunan jarang ditemukan. Anak dari pasien diabetes tipe I
mempunyai 5% kesempatan dalam perkembangan penyakit ini. Pasien DM tipe I ini sering
berasosiasi dengan hiperglikemia akut yang berat, koma hiperosmolar, dan
ketoasidosis ( Greene et al, 2000 ).
Hiperglikemia-puasa
terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu,
glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun
tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial ( sesudah
makan ) ( Smeltzer and Bare, 2002 ).
Ada periode praklinis panjang
(hingga 9 sampai 13 tahun) ditandai
dengan adanya penanda kekebalan tubuh ketika β-sel kerusakan diperkirakan terjadi
( Wells et al, 2003 ).
Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar; akibatnya, glukosa tersebut muncul
dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dinamakan dieresis osmosik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam
berkemih ( poliuria ) dan rasa haus ( polidipsia ).
Defisiensi
insulin juga mengganggu metabolism protein dan lemak yang menyebabkan penurunan
berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan ( polifagia )
akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan
kelemahan.
Dalam
keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis ( pembentukan glukosa baru
dari asam-asam amino serta substansi lain ), namun pada penderita defisiensi
insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut
menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi pemecahan lemak yang
mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping
pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan
asam-basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang
diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen,
mual, muntah, hiperventilasi, napoas berbau aseton, dan bila tidak ditangani
akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin
bersama dengan cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan
cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta
ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar glukosa darah yang
sering merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer and Bare, 2002 ).
3.
GEJALA
DAN PERSENTASI KLINIK
Gejala:
· Banyak kencing (poliuria).
· Lapar (polifagia).
· Badan lemah
· kesemutan,
· gatal,
· pandangan kabur,
· disfungsi ereksi pada pria, dan
· pruritus vulvae pada wanita
· Haus dan banyak minum (polidipsia),
· Letih, lesu,
· Penurunan berat badan dengan cepat (
Greene at al, 2000 ),
Bila tidak ditangani dengan segera, atau
bila penyakit ini berkembang dengan cepat, pasien dapat mengalami ketoasidosis,
dan komatosis, dan mungkin dapat meninggal ( Greene at al, 2000 )
Persentasi
Klinik:
§ Awitan
terjadi pada segala usia, tetapi biasanya pada usia muda ( < 30 tahun )
§ Biasanya
bertubuh kurus pada saat didiagnosis, dengan penurunan berat yang baru saja
terjadi
§ Etiologi
mencakup faktor genetik, imunologi atau lingkungan ( misalnya virus )
§ Sering
memiliki antibodi sel pulau Langerhans
§ Sering
memiliki antibodi terhadap insulin sekalipun belum pernah mendapatkan terapi
insulin
§ Sedikit
atau tidak mempunyai insulin endogen
§ Memerlukan
insulin untuk mempertahankan kelangsungan hidup
§ Cenderung
mengalami ketosis jika tidak memiliki insulin
§ Komplikasi
akut hiperglikemia: ketoasidosis diabetik ( Smeltzer and Bare, 2002 ).
·
Individu dengan diabetes mellitus tipe I
sering kurus dan cenderung akan berkembang menjadi diabetik ketoasidosis ( DKA
) jika insulin dihentikan atau sedang berada di bawah kondisi stress berat
dengan kelebihan hormone pengatur insulin
·
Di antara 20% dan 40% dari pasien akan
mengalami DKA setelah beberapa hari mengalami poliuria, polidipsia, polifagia,
dan kehilangan berat badan ( Wells et al, 2003 ).
4.
TERAPI
Tujuan terapi pada diabetes mellitus diarahkan untuk mengurangi gejala hiperglikemia, mengurangi onset dan
perkembangan retinopati, nefropati, dan
komplikasi neuropati, terapi intensif
untuk faktor risiko kardiovaskular
yang
terkait, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup
( Katzung, 2006 ). Disebutkan pula
bahwa terapi ini bertujuan untuk mencapai kadar glukosa darah normal (
euglikemia ) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas
pasien ( Smeltzer and Bare, 2002 ).
Ada lima
komponen dalam penatalaksanaan diabetes yaitu:
·
Diet
·
Exercise (latihan
fisik/olah raga)
·
Pemantauan
·
Obat: Oral hipoglikemik, insulin
·
Pendidikan ( Smeltzer and Bare, 2002 ).
Prinsip
Umum:
·
Mendekati normal glikemia,
mengurangi risiko komplikasi penyakit
mikrovaskular, tetapi manajemen agresif tradisional faktor
risiko kardiovaskular (
yaitu, smooking cesstation,
pengobatan dislipidemia, kontrol tekanan
darah yang intensif, terapi
antiplatelet ) diperlukan untuk mengurangi risiko
penyakit makrovaskuler.
·
Perawatan yang tepat membutuhkan penetapan
tujuan untuk glycemia, tekanan darah,
dan lipid; pemantauan rutin untuk komplikasi; pemantauan diri yang sesuai terhadap glukosa darah (SMBG), dan penilaian yang tepat dari parameter laboratorium
( Wells et al, 2003 ).
Terapi
Non farmakologi
·
Terapi nutrisi medis direkomendasikan
untuk semua pasien. Untuk individu dengan DM tipe I yang mempunyai berat badan
yang kurang, fokus ada pada mengatur konsumsi insulin dengan keseimbangan diet
untuk meningkatkan dan menjaga berat badan yang sehat. Dalam kebanyakan
situasi, diet karbohidrat tinggi, rendah lemak, dan rendah kolesterol tepat
untuk dilaksanakan. Snack di antara makan dan saat tidur biasanya tidak
dianjurkan jika manajemen farmakologi dilaksanakan.
·
Kebanyakan pasien diuntungkan
dengan peningkatan aktivitas fisik. Latihan aerobik dapat menurunkan resistensi
insulin dan mungkin dapat memperbaiki glikemia pada beberapa pasien. Latihan
sebaiknya dimulai dari yang lebih mudah dan secara perlahan. Untuk pasien
lansia dan dengan penyakit atherosclerosis sebaiknya melakukan evaluasi
kardiovaskuler terlebih dahulu sebelum memulai sebuah program latihan yang
substansial ( Wells et al, 2003 ).
Terapi Farmakologi:
Meningkatkan
jumlah insulin
·
Insulin
-
Regular insulin
mempunyai onset aksi yang relative lambat ketika diberikan subkutan, memerlukan
injeksi 30 menit terlebih dahulu sebelum makan untuk mencapai control glukosa
posprandial yang optimal dan untuk mencegah delayed
postmeal hypoglycemia.
-
Insulin lispro
dan insulin aspart adalah insulin analog yang diproduksi dengan modifikasi dari
molekul insulin manusia. Jenis insulin ini lebih cepat diabsorbsi dengan durasi
efek yang lebih singkat. Ini memungkinkan pemberian dosis segera yang lebih
mudah sebelum makan, menghasilkan efikasi yang lebih baik dalam penurunan
glukosa darah postprandial dan pengaturan insulin pada DM tipe I, dan
meminimalkan delayed postmeal
hypoglycemia.
-
NPH dan Lente Insulin adalah aksi sedang dan Ultralente Insulin adalah yang beraksi
panjang. Variasi dalam absorbsi, persiapan yang tidak konsisten oleh pasien,
perbedaan farmakokinetik mungkin berkontribusi terhadap respon glukosa yang
tidak tetap, nocturnal hypoglycemia,
dan fasting hyperglycemia.
-
Insulin Glargine
adalah insulin beraksi panjang, yang dikembangkan untuk meniadakan keburukan
dari insulin aksi panjang dan sedang yang lain. Insulin ini menghasilkan
nocturnal hypoglycemia yang lebih rendah daripada insulin NPH ketika diberikan
pada saat mau tidur pada pasien DM tipe I ( Wells et al, 2003 ).
· Pramlintide, suatu analog sintetis amylin, merupakan antihyperglycemic suntik yang memodulasi kadar
glukosa postprandial dan telah disetujui untuk digunakan preprandial
pada individu dengan tipe 1 dan diabetes tipe 2.
Obat ini diberikan
selain juga insulin pada
orang-orang yang tidak mampu mencapai target gula darah postprandial mereka.
Pramlintide menekan pelepasan glukagon melalui mekanisme yang belum ditentukan,
menunda pengosongan
lambung, dan memiliki efek anorectic yang memediasi sistem saraf pusat. Obat ini dengan
cepat diserap setelah administrasi subkutan; puncak level dicapai dalam 20 menit, dan durasi aksi tidak lebih
dari 150 menit. Pramlintide mengalami metabolisme dan ekskresi di ginjal, namun
pada klirens kreatinin yang
rendah tidak ada perubahan signifikan pada bioavailabilitas. Ini belum dievaluasi
pada pasien dialisis. Penyerapan yang paling dapat diandalkan adalah dari perut
dan paha, administrasi lengan kurang dapat diandalkan. Pramlintide harus disuntikkan
segera sebelum makan; dosis berkisar dari 15 sampai 120 mcg mcg subkutan.
Terapi dengan agen ini harus dimulai dengan dosis terendah dan dititrasi ke
atas. Karena risiko hipoglikemia, dosis bersamaan dengan insulin rapid-atau
short-acting harus diturunkan 50% atau lebih. Pramlintide harus selalu disuntik
dengan sendirinya dengan alat semprot yang terpisah, tidak dapat dicampur
dengan insulin. Efek samping utama dari pramlintide adalah hipoglikemia dan
gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan anoreksia ( Katzung,
2006 ).
Meningkatkan
sensitivitas insulin
·
Thiazolidinedione (pioglitazone,
rosiglitazone)
Thiazolidinediones (TZDs) bertindak
untuk mengurangi resistensi insulin.
Mekanisme utama mereka adalah regulasi gen yang terlibat
dalam metabolisme glukosa dan lemak serta diferensiasi adipocyte. Selain menargetkan
adipocytes, miosit, dan hepatosit, TZDs juga
memiliki efek yang signifikan terhadap endotelium pembuluh darah, sistem kekebalan tubuh, ovarium, dan sel tumor.
Pada orang dengan diabetes, tempat
kerja utama dari tindakan TZD adalah jaringan adiposa, di mana obat tersebut meningkatkan penyerapan
dan pemanfaatan glukosa
serta memodulasi sintesis hormon lipid atau sitokin dan protein
lain yang terlibat dalam regulasi energi. TZDs juga mengatur
apoptosis
dan
diferensiasi adipocyte.
Dua thiazolidinediones saat ini yang tersedia
yaitu pioglitazone
dan rosiglitazone
( Katzung, 2006 ).
Terapi
dengan cairan fisiologis
Apabila
terjadi komplikasi akut seperti utamanya Ketoasidosis, terapi dengan cairan
fisiologis ini dimanfaatkan untuk mengatasi kehilangan elektrolit maupun
dehidrasi.
Terapi
Kombinasi dalam Diabetes tipe 1
Kombinasi
terapi dengan pramlintide
Pramlintide disetujui untuk
administrasi bersamaan
pada saat makan pada individu dengan diabetes tipe 1 yang memiliki kontrol glukosa yang jelek setelah makan meskipun terapi insulin sudah optimal. Penambahan pramlintide
menyebabkan
penurunan yang
signifikan pada
awal glukosa postprandial;
sehingga
dosis insulin biasanya harus dikurangi
untuk mencegah hipoglikemia
( Katzung, 2006 ).
Terapi
kombinasi dengan pengobatan oral
Tidak ada
indikasi untuk menggabungkan insulin dengan sekretagog insulin (sulfonilurea,
meglitinides, atau D-fenilalanin derivatif) pada individu dengan diabetes tipe
1. Penderita
diabetes Tipe 1 dengan diet pati
yang sangat
tinggi dapat mengambil manfaat dari penambahan-glukosidase inhibitor, tetapi
hal ini tidak biasanya dipraktekkan di Amerika Serikat. Meskipun tidak
disetujui untuk digunakan pada diabetes tipe 1, Thiazolidinediones
( TZDs ) telah
diresepkan untuk individu tipe 1 dengan resistensi terhadap insulin yang
signifikan dan gabungan
fenotip tipe 1,
tipe 2, atau diabetes mellitus autoimun laten dewasa (LADA). Dosis insulin
harus dikurangi dengan penambahan terapi TZD untuk mencegah hipoglikemia ( Katzung, 2006 ).
Greene,
Russel J.; Norman D. Harris; and Larry I Goodyer. 2000. Pathology and
Therapeutics for Pharmacists Second Edition. Great Britain: Pharmaceutical
Press.
Katzung,
Bertram G. 2006. Basic and Clinical
Pharmacology 10th Edition. San Francisco: McGraw Hill Lange.
Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G.
Bare. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah.
Jakarta: EGC.
Wells, Barbara G.; Joseph T.
Dipiro; Terry L. Schwinghammer; and Cynthia W. Hamilton. 2003. Pharmacotherapy
Handbook Fifth Edition. New York: The McGraw-Hill Companies.
0 komentar:
Post a Comment