Konstipasi

1.1  Definisi
Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan dimana seseorang mengalami pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri sebenarnya bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al., 2008). Seseorang dikatakan mengalami konstipasi apabila frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu disertai konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses besar-besar maupun akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami sensasi rasa tidak puas pada saat buang air besar. Frekuensi defekasi yang kurang dari normal belum tentu dapat dikatakan menderita konstipasi apabila ukuran ataupun konsistensi fesesnya masih normal (McQuaid, 2006).
Berdasarkan National Health Interview, prevalensi konstipasi di Amerika Serikat berkisar antara 2-20%. Di Cina, survei yang dilakukan pada orang berusia kurang dari 60 tahun di beberapa kota menunjukkan kejadian konstipasi kronis sebesar 15-20%. Di Beijing dilakukan studi acak pada orang dewasa usia 18-70 tahun dan ditemukan 6,07% persennya menderita konstipasi. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai lansia. Berdasarkan International Database US Census Bureau pada tahun 2003 prevalensi konstipasi di Indonesia sebesar 3.857.327 jiwa. Angka kejadian konstipasi di dunia maupun di indonesia cukup tinggi namun masih sebagian besar penderita biasanya hanya melakukan pengobatan sendiri. Farmasis dapat menyarankan obat-obatan Over The Counter (OTC) guna perbaikan keluhan pasien.

1.2  Etiologi
Beberapa penyakit dan penggunaan obat tertentu merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan timbulnya konstipasi. Gangguan saluran gastrointestinal (sindrom iritasi usus atau diverticulitis), gangguan metabolik (diabetes), atau gangguan endokrin (hipotiroidisme) dapat terlibat dalam timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya disebabkan karena rendahnya asupan serat atau dari penggunaan obat-obatan seperti opiat yang dapat menginduksi terjadinya konstipasi (Burns et al., 2008). Pada orang tua konstipasi yang sering terjadi dapat disebabkan karena hasil dari diet yang tidak tepat (rendah serat dan cairan), kekuatan otot pada dinding abdomen berkurang, serta karena berkurangnya aktivitas fisik. Namun frekuensi buang air besar tidak menurun dengan penuaan normal (Dipiro et al., 2008). Daftar penyebab umum konstipasi pada kondisi penyakit tertentu ditampilkan dalam tabel 1.1.

Tabel 1.1 Daftar Penyebab Umum Konstipasi
Kondisi
Etiologi yang Berpotensi Menyebabkan Konstipasi
Gangguan GI
·         Irritable Bowel Syndrome (IBS)
·         Diverticulitis
·         Penyakit saluran pencernaan atas
·         Penyakit anal dan rektal
·         Wasir
·         Ulcerative proctitis
·         Tumor
·         Hernia
·         Volvulus usus
·         Sifilis
·         Tuberkulosis
·         Infeksi cacing
Gangguan metabolisme dan endokrin

·         Diabetes melitus dengan neuropati
·         Hipotiroidisme
·         Panhypopituitarism
·         Pheochromocytoma
·         Hiperkalsemia
·         Kelebihan glukagon enterik
Kehamilan

·         Motilitas usus tertekan
·         Peningkatan penyerapan cairan dari usus
·         Penurunan aktivitas fisik
·         Perubahan pola makan
·         Asupan cairan yang tidak memadai
·         Asupan serat rendah
·         Penggunaan garam besi
Penyebab Neurogenik

·         Penyakit SSP
·         Trauma otak (terutama medula)
·         Cedera tulang belakang
·         Tumor SSP
·         Kecelakaan serebrovaskular
·         Parkinson
Penyebab psikogenik
·         Mengabaikan keiginan untuk buang air besar
·         Penyakit kejiwaan
Induksi Obat
·         Analgesik (inhibitor sintesis prostaglandin, opiat)
·         Antikolinergik (antihistamin, agen antiparkinsonian, Phenothiazines, Tricyclic antidepressant)
·         Antasida yang mengandung CaCO3 atau Al(OH)3
·         Barium sulfat
·         Calcium channel blockers
·         Clonidine
·         Diuretik (tidak hemat kalium)
·         NSAID
                                                                                                        (Dipiro et al., 2008)
1.3  Fisiologi Normal
Fungsi sistem pencernaan adalah memproses makanan menjadi bentuk molekulernya yang kemudian akan diserap dan didistribusikan ke sel melalui sistem sirkulasi. Dalam proses pencernaan, terdapat sisa pencernaan yang harus diekskresikan, yaitu feses. Feses mengandung material yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap sehingga dikeluarkan melalui proses defekasi (Vander et al., 2001).
Gambar 1.1 Saluran cerna manusia (lambung dan usus)

Mekanisme yang berperan dalam proses defekasi sangat kompleks. Defekasi dirangsang oleh gerakan peristaltik akibat adanya massa feses di dalam rektum (Endyarni dan Syarif, 2004). Sebelum memasuki rektum, makanan yang bercampur dengan enzim-enzim pencernaan (chyme) memasuki cecum (bagian awal dari kolon) melalui ileocecal sphincter. Sfingter ini secara normal tertutup, tetapi setelah makan, refleks gastroileal meningkatkan kontraksi ileum, sfingter mengalami rileks ketika bagian terminal ileum berkonstraksi, diikuti oleh masukknya chyme ke dalam kolon. Di sisi lain, penggelembungan kolon menghasilkan refleks kotraksi pada sfingter, mencegah material yang ada di fecal kembali ke usus kecil (Vander et al., 2001).
Kurang lebih 1500 mL chyme memasuki kolon setiap harinya. Material ini berasal dari sekresi dari bagian bawah usus kecil, karena sebagian besar makanan yang dicerna telah diabsorbsi sebelum melalui kolon. Absorbsi cairan oleh kolon secara normal, hanya merupakan bagian kecil dari cairan yang memasuki saluran gastrointestinal tiap harinya. Proses absorbsi primer pada kolon adalah transport aktif sodium dari lumen menuju darah, yang diikuti absorbsi osmotik air. Jika material fecal masih berada di kolon dalam waktu yang lama, hampir semua air tersebut diabsorbsi dan dihasilkan feses yang keras. Terdapat perpindahan potasium total yang normal dari darah menuju lumen kolon dan pengurasan total potasium dalam tubuh dapat terjadi bila cairan dalam jumlah besar diekskresikan melalui feses. Terdapat pula perpindahan total ion bikarbonat menuju lumen. Kehilangan bikarbonat (basa) pada pasien dengan diare yang panjang dapat menyebabkan darah menjadi asam (Vander et al., 2001).
Kontraksi dari otot polos sirkular pada kolon menghasilkan gerak segmentasi dengan ritme yang jauh lebih lambat (sekali setiap 30 menit) dibandingkan di dalam usus kecil. Karena lambatnya dorongan dari konten pada kolon, dibutuhkan waktu 18-24 jam untuk dapat memasukkan makanan dari usus kecil menuju kolon. Tiga sampai empat kali sehari, bisanya diikuti oleh makanan, gelombang kontraksi usus (perpindahan massa) menyebar dengan cepat melalui segmen melintang dari kolon menuju rektum. Hal ini biasanya bertepatan dengan gastroileal refleks. Tidak seperti gelombang peristaltik, di mana otot polos pada setiap titik mengalami rileks setelah gelombang kontraksi terjadi, otot polos kolon tetap berkontraksi untuk beberapa saat setelah perpindahan massa terjadi (Vander et al., 2001).
Anus biasanya ditutup oleh sfingter anal internal (terdiri dari otot polos) dan sfingter anal eksternal (terdiri dari otot rangka) yang dapat dikontrol secara sadar. Penggelembungan tiba-tiba dinding rektum yang akibat gerakan massa feses ke dalam rektum, memulai refleks buang air besar yang dimediasi oleh mekanoreseptor. Respon refleks terdiri dari kontraksi rektum, relaksasi sfingter anal internal, tetapi terjadi kontraksi sfingter anal eksternal (pada awalnya) dan meningkatnya aktivitas peristaltik di kolon sigmoid. Akhirnya, tekanan tercapai dalam rektum yang memicu refleks relaksasi dari sfingter anal eksternal, yang memungkin-kan kotoran harus dikeluarkan. Otak dapat mengatur hal tersebut, namun, melalui jalur balik saraf somatik ke sfingter anal eksternal, menimpa sinyal refleks yang akhirnya akan mengendurkan sfingter, dengan demikian menjaga sfingter eksternal ditutup dan memungkinkan seseorang untuk menunda buang air besar. Pada kasus ini, penggelembungan berkepanjangan rektum menginisiasi peristaltik balik yang mendorong isi rektum kembali ke kolon sigmoid. Dorongan untuk defekasi kemudian mereda sampai gerakan massa yang ada di depannya mendorong tinja ke rektum, meningkatkan volume, dan memulai lagi refleks buang air besar. Kerusakan sumsum tulang belakang dapat menyebabkan hilangnya kontrol sadar untuk melakukan defekasi (Vander et al., 2001).
Defekasi biasanya dibantu oleh inspirasi dalam, diikuti dengan penutupan glotis dan kontraksi otot-otot perut dan dada, menghasilkan peningkatan tekanan perut yang ditransmisikan pada massa yang ada pada kolon dan rektum. Manuver ini (manuver Valsava) juga menyebabkan peningkatan tekanan intratoraks, yang mengarah pada peningkatan tekanan darah yang sementara, kemudian diikuti oleh penurunan tekanan karena aliran balik vena ke jantung berkurang. Perubahan kardiovaskular akibat regangan berlebihan saat buang air besar dapat memicu stroke atau serangan jantung, terutama pada orang tua sembelit dengan penyakit jantung (Vander et al., 2001).

1.4  Patofisiologi Penyakit
Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan gejala dari adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh. Pengobatan pada konstipasi harus diawali dengan usaha untuk menetapkan penyebabnya. Gangguan pada saluran pencernaan, gangguan metabolisme atau gangguan sistem endokrin dapat menjadi hal-hal yang terkait dengan timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya hasil dari diet rendah serat atau penggunaan obat-obat yang menyebabkan konstipasi seperti obat-obat golongan opiat. Di samping itu, hal-hal yang berawal dari gangguan psikis juga dipercaya menyebabkan konstipasi, penurunan kekuatan otot dinding abdomen dan kemungkinan penurunan aktifitas fisik. Bagaimana pun juga, frekuensi pergerakan usus tidak berkurang pada usia produktif. Selain itu, penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan konstipasi, seperti kanker kolon dan diverticulitis, akan meningkat kemungkinannya seiring dengan bertambahnya umur. Contoh faktor penyebab konstipasi telah dijelaskan pada sub bab etiologi. Penggunaan obat-obatan (tabel 1.1) yang menghambat fungsi neurologis atau otot saluran cerna (terutama usus besar) juga merupakan penyebab konstipasi (Dipiro et al., 2008).

1.5  Manifestasi Klinis
A.    Tanda dan Gejala
·         Pasien mengeluh tentang rasa tidak nyaman dan kembung pada perut, kelelahan, sakit kepala, mual dan muntah, pergerakan usus yang hilang, feses dengan ukuran kecil, perasaan penuh, kesulitan, dan sakit saat mengeluarkan feses (Dipiro et al., 2008; Sukandar dkk., 2008)
·         Implikasi dari konstipasi dapat bervariasi mulai dari rasa tidak nyaman sampai gejala kanker usus besar atau penyakit serius lainnya (Sukandar dkk., 2008).
·         Konstipasi menunjukan gejala yang parah apabila ditandai dengan gejala berlangsung lebih dari 3 minggu, terdapat darah dalam tinja, penurunan berat badan, demam, anoreksia, mual, dan muntah atau setiap kali terjadi perubahan kebiasaan buang air besar yang biasa terjadi secara signifikan (Burns et al., 2008).
B.     Tes Laboratorium
·      Pada tes laboratorium, terdapat serangkaian pemeriksaan, termasuk proktoskopi, sigmoidoskopi, kolonoskopi, dan barium enema yang mungkin diperlukan untuk menentukan adanya kolorektal patologi.
·      Studi mengenai fungsi tiroid dapat dilakukan untuk menentukan adanya metabolik dan gangguan endokrin yang berhubungan dengan konstipasi.
(Dipiro et al., 2008).


1.6   Tata Laksana Terapi dan Farmakologi Obat
Pada pasien dengan konstipasi, tujuan utama terapi adalah untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebab sekunder, mengurangi gejala, serta mengembalikan fungsi normal usus (Chisholm-Burns et al., 2008). Tindakan umum yang diyakini bermanfaat dalam mengatasi konstipasi adalah modifikasi diet untuk meningkatkan jumlah serat yang dikonsumsi tiap hari, olahraga, penyesuaian pola buang air besar sehingga teratur dan waktu yang memadai dibuat untuk merespon dorongan untuk buang air besar, dan meningkatkan asupan cairan. Jika yang mendasari penyebab konstipasi adalah penyakit lain, maka lakukan upaya untuk menyembuhkannya. Gangguan GI yang berbahaya bisa dihilangkan melalui bedah reseksi. Penyakit pada endokrin dan metabolik harus ditangani dengan metode yang tepat. Obat yang berpotensi menyebabkan konstipasi harus diidentifikasi dan dipertimbangkan diganti dengan agen lainnya. Jika tidak ada alternatif yang rasional untuk menggantinya, maka dapat dipertimbangkan untuk menurunkan dosis dari obat tersebut (Dipiro et al., 2008).
Satu atau lebih laksatif dapat diberikan untuk mengobati gejala. Jika apoteker merasa bahwa pasien hanya perlu diberikan saran diet, maka akan masuk akal untuk melihat terlebih dahulu keadaan pasien sekitar 2 minggu untuk melihat apakah konstipasi menetap sebelum pasien dirujuk ke dokter (Blenkinsopp et al., 2005).
a. Algoritma Terapi Konstipasi
Riwayat
a. frekuensi feses
b. konsistensi feses
c. Kesulitan buang air besar
Kemungkinan penyebab
a.  Diet makanan tinggi serat yang kurang dan terutama terdiri dari makanan yang sangat halus
b.  Gangguan GI
c.  Gangguan metabolisme dan endokrin
d.  Kehamilan
e.  Neurogenik
f.   Psikogenik
g.  Diinduksi oleh penggunaan obat
h.  Penyalahgunaan laksatif
Gejala yang terlihat pada sembelit kronis
a.   Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (hipokalemia)
b. Protein-losing gastroenteropathy dengan hipoalbuminemiak. Sindrom yang me- nyerupai kolitis
Pilih uji diagnostik yang tepat
a. Proktoskopi
b. Sigmoidoskopi
c. Kolonoskopi
d. Barium enema
Diagnosa
1. Mengobati penyebab spesifik
2. Tidak ada diagnosis, terapi simtomatis :
a. Bulk-forming agent
b. Modifikasi diet
c. Perubahan gaya hidup (olahraga)
d. Asupan cairan
e. Hentikan obat yang berpotensial menginduksi konstipasi

Sebelum memulai terapi, pasien harus ditanyakan tentang frekuensi pergerakan usus dan tingkat keparahan konstipasi. Pasien juga  harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan tentang kebiasaan diet dan regimen laksatif yang dikonsumsi. Pasien juga harus ditanyakan dengan seksama tentang kebiasaan diet dan regimen pencahar yang diterima. Ditanyakan apakah pasien memiliki diet tetap dengan mengurangi makanan yang  berserat tinggi, terutama yang berserat halus serta obat pencahar (laksatif atau katartik) apa yang pernah dicoba oleh pasien untuk menghilangkan konstipasi/sembelitnya. Selain itu, pasien juga harus ditanyakan tentang kombinasi pengobatan yang dilakukan secara bersamaan, yang mungkin dapat menyebabkan sembelit (Dipiro et al., 2008).
Dasar dari perawatan dan pencegahan konstipasi harus terdiri dari usaha pemberian agen yang membentuk bulk disamping modifikasi diet untuk meningkatkan serat. Untuk beberapa penderita konstipasi akut yang tidak dirawat di rumah sakit, penggunaan produk laksatif dapat diterima. Namun sebelum pasien diberikan laksatif ataupun katartik yang lebih poten, sebaiknya dicobakan terlebih dahulu langkah-langkah pengobatan yang lebih sederhana. Misalnya, konstipasi akut dapat dihilangkan dengan penggunaan tap-water enema (agen yang menyebabkan terjadinya pemasukan air ke dalam usus atau kolon melalui anus untuk merangsang buang air besar) atau suppositoria gliserin. Jika tidak efektif, penggunaan sorbitol oral, bisakodil atau senna dalam dosis rendah atau saline laksatif (misalnya susu magnesium) dapat diberikan sebagai pembantu perawatan. Jika pengobatan laksatif diperlukan untuk lebih dari 1 minggu, orang tersebut dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan apakah ada penyebab lain yang mendasari konstipasi sehingga diperlukan pengobatan dari agen lain selain laksatif (Dipiro et al., 2008).

b. Terapi Non Farmakologi
Modifikasi gaya hidup perlu dilakukan sebelum penggunaan laksatif pada konstipasi. Konstipasi biasanya berhubungan dengan rendahnya asupan serap, kurangnya cairan dan olahraga. Peningkatan konsumsi serat seperti kacang-kacangan, biji-bijian, sereal, buah-buahan segar dan sayuran seperti asparagus, kol dan wortel sebanyak 20-35 gram/hari dan menghindari konsumsi makanan yang rendah serat seperti keju dan es krim. Asupan cairan yang cukup juga penting (6-8 gelas perhari). Berjalan atau latihan aerobik lain dapat membantu melatih otot di daerah abdominal yang mendorong propulsi dalam usus. Selain itu, pasien sebaiknya membiasakan untuk tidak menunda keinginan untuk buang air besar (Chisholm-Burns et al., 2008).

c. Terapi Farmakologi
1. Laksatif Stimulan (Stimulant Laxative)
Derivatif difenilmetana (bisacodyl) dan antrakuinon (senna) memiliki aksi yang selektif pada saraf pleksus otot polos usus yang menyebabkan peningkatan motilitas usus (Chisholm-Burns et al., 2008). Semua obat laksatif stimulan dapat menghasilkan kram nyeri. Disarankan untuk memulai dengan dosis paling rendah dari kisaran dosis yang dianjurkan, kemudian dosis dapat ditingkatkan jika diperlukan. Intensitas efek laksatif berhubungan dengan dosis yang digunakan. Laksatif stimulan bekerja dalam 6-12 jam bila digunakan secara oral. Harus digunakan maksimum 1 minggu. Bisacodyl tablet yang dilapisi salut enterik harus ditelan utuh karena bisacodyl dapat mengiritasi lambung. Jika diberikan sebagai supositoria, efeknya biasanya terjadi dalam 1 jam dan kadang-kadang 15 menit setelah insersi (Blenkinsopp et al., 2005).
Natrium Docusate tampaknya memiliki efek stimulan dan efek melembutkan tinja, bertindak dalam waktu 12 hari. Penggunaan dari senna dan cascara yang tidak terstandardisasi, harus digunakan secara hati-hati, karena dosis dan mekanismenya tidak bisa ditebak. Minyak jarak adalah obat tradisional untuk konstipasi, yang tidak lagi dianjurkan karena adanya sediaan lain lebih baik. Penggunaan laksatif stimulan secara terus menerus dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas otot di dinding usus dan nantinya menyebabkan konstipasi (Blenkinsopp et al., 2005).
2. Pembentuk Massa Feses (bulk laksative)
Bulk laksatif seperti ispaghula, metilselulosa dan sterculia memiliki mekanisme yang paling mendekati dengan fisiologis normal yang terlibat dalam evakuasi usus dan dianggap oleh banyak orang sebagai obat pencahar pilihan. Agen ini sangat berguna ketika pasien tidak bisa atau tidak mau meningkatkan asupan serat makanan. Bulk laksatif bekerja dengan cara mengembang di usus dan meningkatkan massa feses sehingga peristaltik usus dirangsang. Efek laksatif dapat memakan waktu beberapa hari (Blenkinsopp et al., 2005).
Kandungan natrium pada bulk laksatif (sebagai natrium bikarbonat) harus dipertimbangkan pada mereka yang memerlukan pembatasan asupan natrium. Ketika merekomendasikan penggunaan bulk laksatif, apoteker harus menyarankan bahwa peningkatan asupan cairan akan diperlukan. Sebelum mengkonsumsi bulk laksatif, karena sediaannya dalam bentuk butiran atau bubuk, sediaan harus dicampur dengan segelas penuh cairan (misalnya jus buah atau air). Jus buah dapat menutupi rasa hambar sediaan. Obstruksi usus mungkin timbul dari asupan cairan yang tidak memadai pada pasien yang memakai bulk laksatif, terutama yang ususnya tidak berfungsi dengan baik sebagai akibat dari penyalahgunaan obat laksatif stimulant (Blenkinsopp et al., 2005).
3. Laksatif Osmotik (Osmotic Laxatives)
Laktulosa bekerja dengan menjaga volume cairan dalam usus. Laksatif osmotik mungkin memerlukan waktu 1-2 hari untuk bekerja. Laktitol secara kimiawi berhubungan dengan laktulosa dan tersedia dalam sachet. Isi sachet itu ditaburkan pada makanan atau dicampurkan dengan cairan (misalnya jus buah atau air). Laktulosa dan laktitol dapat menyebabkan perut kembung, kram dan ketidaknyamanan perut. Garam Epsom (magnesium sulfat) merupakan pengobatan tradisional yang sementara ini tidak lagi direkomendasikan, namun masih diminta oleh beberapa pasien yang usianya sudah tua. Obat ini bekerja dengan menarik air ke dalam usus sehingga menghasilkan peningkatan tekanan motilitas di usus dan biasanya menghasilkan gerakan usus dalam beberapa jam. Penggunaan berulang dapat menyebabkan dehidrasi (Blenkinsopp et al., 2005).
Gliserin biasanya diberikan sebagai suppositoria dengan bobot sekitar 3 g dan menimbulkan efek berupa aksi osmotik di dalam rektum. Seperti kebanyakan agen yang diberikan dalam bentuk suppositoria, efek biasanya terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit. Kadar yang tinggi dalam suppositoria dapat menimbulkan iritasi lokal. Gliserin dianggap sebagai pencahar yang aman, meskipun terkadang dapat menyebabkan iritasi pada dubur. Penggunaannya dapat diterima untuk konstipasi yang sifatnya berselang (kadang-kadang), terutama pada anak-anak (Dipiro et al., 2008). Membasahi supositoria sebelum digunakan akan membuat penggunaannya lebih mudah (Blenkinsopp et al., 2005).

Refference:
Blenkinsopp, A., Paxton, P., Blekinsopp, J. 2005. Symptoms in the Pharmacy : A Guide to the Management of Common Illness 5th. USA : Blackwell Publishing.
Burns, M.A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone,  J. M. Kolesar, J. C. Rotschafer, and J. T. DiPiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & practice. New York:  The McGraw-Hill Companies.
Dipiro, Joseph .T., Robert L. Talbert., Gary C. Yee., Gary R. Matzke., Barbara G. Wells and L. Michael Posey. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Endrayani, B. dan Syarif, B.H. 2004. Konstipasi Fungsional. Sari Pedriati, Vol. 6 (2) :75-80.
McQuaid, K.R, 2006, E-book: Current Medical Diagnosis & Treatment: Allimentary Tract. 45th Edition. USA:McGraw-Hill.
Vander, A.J., Sherman, J.H., dan  Luciano, D.S. 2001. Human Physiology: The Mechanism of Body Function. USA: The McGraw−Hill Companies. P.553-584.



0 komentar:

Post a Comment

 

About Us

My photo
Kami adalah mahasiswa/i Program Studi Profesi Apoteker angkatan VIII Universitas Udayana (PSPA8 Udayana). Kami beranggotakan 53 calon apoteker masa depan, yang saat ini (saat blog ini dibuat) masih menempuh pendidikan profesi kami guna menyangdang gelar "Apt" dan pengelolaan blog ini di wakili oleh kami yang wajahnya tertera pada foto profil :) Kami, segenap anggota PSPA8 Udayana berharap blog ini dapat berguna bagi semua orang yang membaca blog ini. Kami juga memohon doa dan restu agar kami dapat segera mencapai cita kami dan dapat berguna bagi nusa dan bangsa. God Bless U! O:)

We Are Pharmacist

We Are Pharmacist