HIV

1.       Etiologi
            HIV/AIDS disebabkan oleh dua jenis retrovirus yang berkaitan, dikenal dengan HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 kerap ditemukan di Afrika tengah dan Timur, Amerika, Eropa, serta Asia. HIV-2 kerap ditemukan di Afrika Barat (Angola, Mozambik), Perancis dan Portuga. Insiden HIV-2 sangat rendah di Amerika Serikat. Retrovirus ditransmisikan melalui pertukaran cairan tubuh (misalnya semen, darah, atau saliva) atau melalui transfusi produk darah. Individu yang terinfeksi akan mendapatkan uji HIV negatif selama beberapa minggu dan kemungkinan selama 1 tahun. Kecepatan perkembangan penyakit ini bervariasi. Waktu rekaan perkembangan AIDS adalah 10 tahun. Sekitar 90 % individu yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam 17-20 tahun infeksi (Morgan, 2009).
            Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk meriplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4 dan limfosit (Nursalam, 2007).
            Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan struktural. Tiga gen tersebut yaitu gag (group antigen), pol (polimerase), dan env (envelope). Gen gag mengode protein inti. Gen pol mengode enzim reverse transcriptase, protease, dan integrase. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus, yaitu: rev, nef, vif, vpu, dan vpr (Nursalam, 2007).

Gambar 1. Struktur virus HIV (Nursalam, 2007)

2.      Patofisiologi
            Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat pendek; hal ini berarti HIV secara terus menerus menggunakan sel pejamu untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, dimana replikasi virus menjadi semakin cepat. Siklus hidup HIV dapa dibagi menjadi 5 fase, yaitu: masuk dan mengikat; reverse transkiptase; replikasi; budding; dan maturasi (Nursalam, 2007).
            Perjalanan penyakit infeksi HIV dapat dibagi dalam: transmisi virus; infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut); serokonversi; infeksi kronik asimtomatik; infeksi kronik simtomatik; AIDS (indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4< 200/mm3); infeksi HIV lanjut ditandai dengan jumlah CD4< 50/mm3 (Depkes RI, 2006).
            Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R); serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R) dan antibodi upregulation (gp 120, anti p24; IgA). Induksi T-helper dan sel-sel lain diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel faktor imun agar tetap berfungsi baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T-helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK,  monosit, dan sel B tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium lebih lanjut. Saat ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, yang berarti banyak virus lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam darah atau plasma per milimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya terjadi 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononukleosis (Nursalam, 2007).
            Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada nodus limfa dan thymus selama waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIV menggunakan enzym linked immunoabsorbent assay (ELISA) yang akan menunjukkan hasil positif (Nursalam, 2007).
            Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini bisa berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat (Nursalam, 2007).
            Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain). Pada fase ini disebut imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel t. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak mampu memberikan respon terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan kadar CD4 , sitokin (IFN; IL-2; IL-6); antibodi down regulation (gp 129; anti p-24); TNF alpha: antinief (Nursalam, 2007).
            Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga perjalanan penyakit bisa lebih progresif (Nursalam, 2007).

3.      Gejala
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah Syndrome akibat defisiensi immunitas selluler tanpa penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik keganasan berakibat fatal. Munculnya Syndrome ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV. Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :
1)   Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif).
2)   Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif).
(Siregar, 2011)
Pada tingkat pandemi HIV tanpa gejala jauh lebih banyak dari pada penderita AIDS itu sendiri. Tetapi infeksi HIV itu dapat berkembang lebih lanjut dan menyebabkan kelainan imunologis yang luas dan gejala klinik yang bervariasi (Siregar, 2011).
Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut :
·      Rasa lelah dan lesu
·      Berat badan menurun secara drastis
·      Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
·      Mencret dan kurang nafsu makan
·      Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
·      Pembengkakan leher dan lipatan paha
·      Radang paru-paru
·      Kanker kulit
(Siregar, 2011)
Menurut Siregar (2011), manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik :
1)   Manifestadi tumor diantaranya :
·   Sarkoma kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
·   Limfoma ganas
Terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.
2)   Manifestasi Oportunistik diantaranya :
2.1. Manifestasi pada Paru-paru
·   Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
·   Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
·   Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
·   Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
3)   Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer.
Terdapat beberapa klasifikasi klinis HIV/AIDS antara lain menurut CDC dan WHO antara lain sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi dari CDC berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4
CD4
Kategori Klinis
Total
%
A
(Asimtomatik, infeksi akut)
B
(Simtomatik)
C
(AIDS)
≥ 500/ml
≥29%
A1
B1
C1
200-499/ml
14-28%
A2
B2
C2
<200/ml
<14%
A3
B3
C3

 Kategori klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimtomatik), Persistent Generalized Lymphadenopathy, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut. Kategori klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala (simtomatik) pada remaja atau dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari beberapa kriteria berikut:
a.       Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan yang diperantarakan sel atau
b.      Kondisi yang dianggap oleh okter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV, misalnya Kandidiasis Orofaringeal, Oral Hairy Leukoplakia, Herpes Zoster, dan lain-lain.
Kategori klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS misalnya Sarkoma Kaposi, Pneumonia Pneumocystis carinii, Kandidiasis Esofagus, dan lain-lain (Depkes RI b, 2006).

4.      TERAPI
Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA dan sampai saat ini merupakan satu-satu obat yang memberikan manfaat besar dalam pengobatan ODHA. Namun penggunaan ARV menuntut adherence dan kesinambungan berobat yang melibatkan peran pasien, dokter atau petugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan obat (Depkes RI a, 2006).
Terapi dengan antiretroviral atau disingkat ARV telah menyebabkan penurunan angka kematian dan kesakitan bagi ODHA dan strategi yang secara klinis paling berhasil hingga saat ini. ARV adalah obat yang menghambat replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai berikut :
      1)      Menekan replikasi HIV secara maksimum
      2)      Menurunkan morbiditas dan mortalitas.
      3)      Pasien dengan ARV tetap produktif.
     4)      Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksi oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi.
      5)      Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi, namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus dipandang tetap menular. 
      6)      Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu.
      7)      Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status HIV-nya secara sukarela.
(Depkes RI a, 2006)
Terdapat tiga golongan utama ARV berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
A.    Fusion dan attachment inhibitor
Golongan obat baru yang ditujukan untuk melindungi sel dari infeksi HIV melalui pencegahan pengikatan virus pada sel dan menembus selaput yang melapisi sel. Para peneliti berharap obat ini dapat mencegah infeksi pada sel oleh virus bebas (dalam darah) atau oleh kontak dengan sel yang sudah terinfeksi. Karena obat golongan ini diuraikan oleh asam dalam lambung, kebanyakan obat ini dipakai secara suntikan atau infus (IV). Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Contoh obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid (DBFKK, 2006).
B. Penghambat reverse transcriptase enzyme
·      Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)
Analog timin: zidovudin dan stavudin; analog sitosin: lamivudin dan zalcitabin; analog adenin: didanosine; analog guanin: abacavir; analog adenosin monofosfat: tenofovir.
NRTI adalah golongan obat yang bekerja pada tahap awal replikasi HIV dengan menghambat replikasi materi genetik RNA menjadi DNA dengan cara menghalangi enzim reverse transcriptase, sehingga DNA yang dibuat akan cacat dan tidak dapat dipadukan dalam DNA sel host. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA. Untuk dapat bekerja, semua obat golongan NRTI harus mengalami tahap fosforilase intraselular oleh enzim sel host di sitoplasma untuk menjadi bentuk aktif. Contoh: Zidovudin yang bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus asidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’- mono fosfat akan bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase. Stavudin yang merupakan analog timidin dengan ikatan rangkap antara karbon 2’ dan 3’ dari gula. Stavudin harus diubah oleh kinase intraselular menjadi triposfat yang menghambat transcriptase reverse dan menghentikan rantai DNA (DBFKK, 2006)
·      Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) y
Golongan ini memiliki mekanisme kerja yang sama dengan NRTI, walaupun dengan struktur molekul yang berbeda. NNRTI kerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dengan cara berikatan ditempat dekat dengan sisi aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada situs akif dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. NNRTI mencegah pembentukan DNA oleh reverse transcriptase (RT). Semua senyawa NNRTI dimetabolisme oleh sitokrom P450 sehingga cendrung untuk berinteraksi dengan obat lain..Contohnya: delavirdine, nevirapin dan efavirenz. Nevirapin bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non subtrat HIV-1 RT (DBFKK, 2006).
C.     Penghambat enzim protease (PI)
Protease sangat penting untuk infektivitas virus dan penglepasan poliprotein virus Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekusor virus oleh enzim protease sehingga dapat menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak virulen. PI adalah ARV yang potensial dengan aksi utamanya adalah mencegah gelombang infeksi berikutnya. Contohnya: ritonavir, atazanavir, amprenavir, saquinavir, indinavir, lopinavir, dan nelfinavir (DBFKK, 2006).
Gambar 2. Mekanisme kerja agen Antiretroviral


 Gambar 3. Strukur agen Antiretroviral

Seperti obat-obat antimikroba lainnya maka kompleksitas antara pasien, patogen dan obat akan mempengaruhi seleksi obat dan dosis. Karakteristik pasien akan mempengaruhi farmakokinetik obat. Karakteristik mikroba meliputi mekanisme kerja, pola kepekaan, dan resistensi. Farmakodinamik obat merupakan integrasi hubungan antara kepekaan mikroba dengan farmakokinetik pasien. Untuk menjamin tercapainya target terapi, interaksi farmakodinamik antara antimikroba dan target mikroba harus tercapai. Beberapa hal khusus yang harus diperhatikan dalam penggunaan antiretroviral adalah sebagai berikut:
1)      Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi, sedikitnya terbentuk sepuluh milyar virus setiap hari, namun karena waktu paruh (half life) virus bebas (virion) sangat singkat, maka sebagian besar virus akan mati. Walau ada replikasi yang cepat, sebagian pasien merasa tetap sehat tanpa ART selama kekebalan tubuhnya masih berfungsi dengan baik.
2)      Replikasi yang terus-menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuh semakin berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO), kanker, penyakit saraf, kehilangan berat badan secara nyata (wasting) dan berakhir dengan kematian.
3)      Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan CD4 menunjukkan kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. CD4 adalah reseptor yang terdapat di permukaan sel tertentu, misalnya limfosit. Jumlah CD4 + (Helper) limfosit T dalam plasma adalah petunjuk progresivitas penyakit pada infeksi HIV/AIDS.
4)      Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko kematian. Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan) dapat menentukan progresivitas penyakit dan mengetahui syarat yang tepat untuk memulai atau mengubah rejimen ART.
5)      Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-beda. Keputusan pengobatan harus berdasarkan pertimbangan individual dengan memperhatikan gejala klinik, hitung limfosit total dan bila memumgkinkan jumlah CD4.
6)      Terapi kombinasi ART dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkat yang tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR). Penekanan virus secara efektif ini mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat progresivitas penyakit. Jadi tujuan terapi adalah menekan perkembangan virus secara maksimal.
7)      Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus adalah memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien yang baru. Pada pasien yang tidak pernah diterapi, tidak boleh menggunakan obat yang memiliki resistensi silang dengan obat yang pernah dipakai.
8)      Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadual yang tepat.
9)      Prinsip pemberian ART diperlakukan sama pada anak maupun dewasa, walaupun pengobatan pada anak perlu perhatian khusus.
10)  Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ART harus tetap dianggap menular. Mereka harus dikonseling agar menghindari seks yang tidak aman, atau penggunaan NAPZA suntik yang dapat menularkan HIV atau patogen menular lain.
11)  Untuk menghindari timbulnya resistensi, ART harus dipakai terus menerus dengan kepatuhan (adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpai efek samping ringan.
12)  Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang dan harus digunakan seumur hidup.
13)  Disamping ART, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat perhatian dan harus diobati.
(Depkes RI a, 2006)
Berikut macam-macam Antiretroviral yang beredar di Indonesia antara lain:
Tabel 2. Macam-macam Antiretroviral yang beredar di Indonesia
Tabel obat ARV yang beredar di Indonesia
Nama Dagang
Nama Generik
Golongan
Sediaan
Dosis (per hari)
Keterangan
Stavir
Zenit
Stavudin (d4T)
NRTI
Kapsul: 15, 20, 30 dan 40 mg
>60 kg:
2x 40 mg
< 60 kg:
2 x 30 mg
Resistensi disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 75 & 50. Spektrum aktivitas untuk HIV (tipe 1 & 2), terutama pada fase lanjut. ES:neuropati, ruam, perifer, sakit kepala, mual.
Hiviral
3TC
Lamivudin (3TC)
NRTI
Tablet 150 mg
Larutan oral 10 mg/ml
2 x 150 mg
< 50 kg : 2 mg/kg, 2 x /hari
Resistensi: Disebabkan pada RT kodon 184. Spektrum aktivitas: HIV (tipe1&2) dan HBV. Bioavailabilitas lamivudin per oral cukup baik dan bergantung pada ekskresi ginjal. ES: Sakit kepala dan mual.
Viramure
Neviral
Nevirapin (NVP)
NNRTI
Tablet 200 mg
1 x 200 mg selama 14 hari, dilanjutkan 2 x 200 mg
Resistensi: Disebabkan oleh oleh mutasi pada RT. Spektrum aktivitas : HIV ( tipe 1 ). ES: ruam, sakit kepala, demam, gangguan saluran cerna, peningkatan transaminase
Retrovir
Adovi
Avirzid
Zidovudin (ZDV, AZT)
NRTI
Kapsul 100 mg, tablet 300 mg, sirup 10 mg/ml, suntikan IV 10 mg/ml.
2 x 300 mg, atau 2 x 250 mg (dosis alternatif)
Resistensi disebabkan oleh mutasi pada enzim RT. Spektrum aktivitas: HIV(1&2). ES: mual, muntah, sakit kepala, anemia,neutropenia,mialgia,miopati,artralgia, peningkatan transaminase
Videx
Didanosin (ddI)
NRTI
Tablet kunyah 100 mg
>60 kg : 2 x 200 mg, atau 1 x 400 mg
< 60 kg: 2 x 125 mg, atau 1 x 250 mg
Resistensi disebabkan oleh mutasi pada RT. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2) terutama infeksi HIV tingkat lanjut.
ES: diare, pankreatitis, dan neuropati perifer.
Stocrin
Sustiva
Efavirenz (EFV, EFZ)
NNRTI
Kapsul 50, 100, 200 dan 600 mg
1x 600 mg, malam hari
ES: mimpi buruk, susah konsentrasi, pusing, insomnia, ruam. Gejala SSP biasanya akan membaik dalam 7-14 hari
Nelvex
Viracept
Nelfinavir (NFV)
PI
Tablet 250 mg
2 x 1250 mg
ES: diare, mual, muntah.
Resistensi disebabkan terutama oleh mutasi. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2 )
(Djoerban, 2007).
Terapi HIV/AIDS dilakukan dengan kombinasi obat untuk mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah) agar di bawah tingkat yang dapat terdeteksi untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan obat secara kombinasi ini disebut high active anti-retroviral therapy atau HAART. Secara teoritis terapi kombinasi untuk HIV lebih baik daripada monoterapi karena alasan-alasan berikut: (1) menghindari/menunda resistensi obat, meluaskan cakupan terhadap virus dan memperlama efek, (2) peningkatan efikasi karena adanya efek aditif atau sinergistik, (3) peningkatan target reservoir jaringan/selular dari virus, (4) gangguan pada lebih dari satu fase hidup virus, dan (5) penurunan toksisitas karena dosis yang digunakan menjadi lebih rendah. Pada dasarnya, ada 3 jenis kombinasi yang digunakan secara umum, yaitu: 1 NNRTI + 2 NRTI; 1 atau 2 PI + 2 NRTI; dan 3 NRTI. Di Indonesia, regimen kombinasi obat antivirus yang dianjurkan adalah sebagai berikut (Louisa, 2007).

Tabel 3. Kombinasi ARV yang dianjurkan di Indonesia
Satu dari kolom A dan salah satu kombinasi dari kolom B
Kolom A
Kolom B
Nevirapin
Nelfinavir
Zidovudin + Didanosin
Didanosin + Lamivudin
Stavudin + Didanosin
Zidovudin +  Lamivudin
Stavudin +  Lamivudin

Walaupun ARV telah menjadi kunci penatalaksanaan HIV/AIDS, masih ada beberapa keterbatasan, yaitu (1) ARV tidak mampu sepenuhnya memberantas virus. Terapi ini gagal mengendalikan viremia pada kurang lebih sepertiga pasien dalam uji klinis. (2) Sering muncul HIV yang resisten jika pasien kurang patuh. Penularan HIV melalui perilaku yang berisiko dapat terus terjadi, meski viral load tak terdeteksi. (3) Sering muncul efek samping jangka pendek, seperti anemia, neutropenia, mual, sakit kepala, hepatitis akut. Efek samping jangka menengah, seperti resistensi insulin, asidosis laktat, hiperlipidemia dan lipodistrofi (Louisa, 2007). Berikut terdapat terapi Antiretroviral untuk kelompok tertentu antara lain:
1)   Bayi dan Anak
Walaupun perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa dengan orang dewasa, tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita dan anak yang terinfeksi HIV. Sistem kekebalan bayi mulai dibentuk dan berkembang selama beberapa tahun pertama. Bila bayi tertular HIV dalam masa kehamilan dan persalinan maka gejala klinis, jumlah CD4 dan viral load berbeda dengan orang dewasa. Efek obat juga berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak juga menjadi tantangan tersendiri (DBFKK, 2006).
2)   Ibu Hamil
Pada ibu hamil yang telah menggunakan ARV sebelum kehamilannya maka penggunaan ARV harus diteruskan (ARV Lini-Pertama). Jika ibu hamil ternyata positif HIV dan belum pernah mendapatkan ARV, maka : a). jika kondisi sang ibu lemah/buruk: dapat segera diberikan ARV Lini-Pertama, b). jika kondisi sang ibu baik/normal : tidak disarankan untuk memulai ARV pada triwulan pertama karena mual atau muntah yang sering terjadi pada awal kehamilan dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan (DBFKK, 2006).
3)   Pasien Koinfeksi Tuberkulosis – HIV
Pasien yang sudah memulai ARV dan terkena TB aktif harus menyesuaikan rejimen ART agar cocok dengan pengobatan TB. Setelah terapi TB selesai, rejimen ART dapat diteruskan seperti semula atau diubah, tergantung pada status klinis dan imunologis pasien (DBFKK, 2006).

Refference:
Depkes RI a. 2006. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI b. 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987-2006. Depkes RI. Jakarta.
Direktur Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2006. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.
Djoerban Z, Djauzi S. 2007. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Louisa M, Setiabudy R. 2007. Antivirus. Dalam: Gunawan SG, editor. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Gaya Baru.
Morgan, Geri. 2009. Obstetri dan Ginekologi : Panduan Praktik. EGC. Jakarta.
Nursalam dan N.D., Kurniawati. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien terinfeksi HIV/AIDS. Salemba Medika. Jakarta.
Siregar, Fazidah A. 2011. Pengenalan dan Pencegahan AIDS. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.



1 komentar:

  1. Obat herbal Dr. imoloa yang hebat adalah obat penyembuhan yang sempurna untuk Virus HIV, saya mendiagnosis HIV selama 8 tahun, dan setiap hari saya selalu mencari penelitian untuk mencari cara sempurna untuk menghilangkan penyakit mengerikan ini karena saya selalu tahu bahwa apa yang kita butuhkan karena kesehatan kita ada di bumi. Jadi, pada pencarian saya di internet saya melihat beberapa kesaksian berbeda tentang bagaimana Dr. imoloa dapat menyembuhkan HIV dengan obat herbal yang kuat. Saya memutuskan untuk menghubungi pria ini, saya menghubunginya untuk obat herbal yang saya terima melalui layanan kurir DHL. Dan dia membimbing saya bagaimana caranya. Saya memintanya untuk solusi minum obat herbal selama dua minggu. dan kemudian dia menginstruksikan saya untuk pergi memeriksa yang saya lakukan. lihatlah aku (HIV NEGATIF). Terima kasih Tuhan untuk dr imoloa telah menggunakan obat herbal yang kuat untuk menyembuhkanku. ia juga memiliki obat untuk penyakit seperti: penyakit parkison, kanker vagina, epilepsi, Gangguan Kecemasan, Penyakit Autoimun, Nyeri Punggung, Keseleo, Gangguan Bipolar, Tumor Otak, Ganas, Bruxisme, Bulimia, Penyakit Disk Serviks, Penyakit Kardiovaskular, Penyakit Kardiovaskular, Neoplasma, kronis penyakit pernapasan, gangguan mental dan perilaku, Cystic Fibrosis, Hipertensi, Diabetes, asma, radang sendi yang dimediasi autoimun yang dimediasi. penyakit ginjal kronis, penyakit radang sendi, sakit punggung, impotensi, spektrum alkohol feta, Gangguan Dysthymic, Eksim, kanker kulit, TBC, Sindrom Kelelahan Kronis, sembelit, penyakit radang usus, kanker tulang, kanker paru-paru, sariawan, kanker mulut, tubuh nyeri, demam, hepatitis ABC, sifilis, diare, Penyakit Huntington, jerawat punggung, gagal ginjal kronis, penyakit addison, Penyakit Kronis, Penyakit Crohn, Cystic Fibrosis, Fibromyalgia, Penyakit Radang Usus Besar, penyakit kuku jamur, Penyakit Kelumpuhan, penyakit Celia, Limfoma , Depresi Besar, Melanoma Ganas, Mania, Melorheostosis, Penyakit Meniere, Mucopolysaccharidosis, Multiple Sclerosis, Distrofi Otot, Rheumatoid Arthritis, Penyakit Alzheimer, email- drimolaherbalmademedicine@gmail.com / hubungi atau {whatssapp ..... +2347081986098. }

    ReplyDelete

 

About Us

My photo
Kami adalah mahasiswa/i Program Studi Profesi Apoteker angkatan VIII Universitas Udayana (PSPA8 Udayana). Kami beranggotakan 53 calon apoteker masa depan, yang saat ini (saat blog ini dibuat) masih menempuh pendidikan profesi kami guna menyangdang gelar "Apt" dan pengelolaan blog ini di wakili oleh kami yang wajahnya tertera pada foto profil :) Kami, segenap anggota PSPA8 Udayana berharap blog ini dapat berguna bagi semua orang yang membaca blog ini. Kami juga memohon doa dan restu agar kami dapat segera mencapai cita kami dan dapat berguna bagi nusa dan bangsa. God Bless U! O:)

We Are Pharmacist

We Are Pharmacist