1.
Definisi
Diare adalah peningkatan frekuensi
dan penurunan konsistensi tinja dibandingkan pola usus pada individu normal.
Frekuensi dan konsistensi adalah variabel
individu dan antara individu. Sebagai contoh, beberapa individu buang
air besar tiga kali per hari, sedangkan yang lain buang air besar hanya dua
atau tiga kali per minggu (Wells, 2006).
Diet Barat biasanya menghasilkan
tinja harian dengan bobot antara 100 dan 300 g, tergantung pada jumlah bahan nonabsorbable (terutama karbohidrat)
yang dikonsumsi. Pasien dengan diare serius mungkin memiliki berat tinja harian
melebihi 300 gram, namun suatu kondisi dari pasien sering mengalami keadaan
dimana mengeluakan feses yang berair (Dipiro, 2005)
Diare dapat berhubungan dengan
penyakit tertentu dari usus atau diagnosa sekunder terhadap penyakit di luar
usus. Misalnya, disentri basiler langsung mempengaruhi usus, sedangkan diabetes
mellitus menyebabkan keadaan diare neuropatik. Selain itu, diare dapat dianggap
sebagai penyakit akut atau kronis. Infeksi sering menyebabkan diare akut dan diabetes dapat menyebabkan diare
kronis (Dipiro, 2005).
Diare akut didefinisikan sebagai
diare berlangsung selama 14 hari atau kurang. Diare berlangsung lebih dari 30
hari disebut diare kronis. Diare yang berlangsung selama 15 sampai 30 hari
adalah disebut diare persisten (Burns, 2008).
2.
Epidemiologi
Penyebab diare akut tidak menular
termasuk obat-obatan dan racun, penyalahgunaan laksatif, intoleransi makanan, irritable bowel syndrome (IBS), penyakit
radang usus, ischemic bowel disease,
defisiensi laktase, penyakit Whipple,
pernicious anemia, diabetes melitus,
malabsorpsi, impaksi tinja, diverticulosis,
dan sariawan (Burns, 2008).
Intoleransi laktosa bertanggung
jawab atas banyak kasus akut diare, terutama pada pasien keturunan Afrika,
Asia, dan Amerika asli. Makanan harus dipertimbangkan sebagai penyebab,
terutama pengganti lemak, produk susu, dan produk mengandung karbohidrat nonabsorbable (Burns, 2008).
3.
Patofisiologi
Empat mekanisme umum patofisiologi
diare mengganggu keseimbangan air dan elektrolit, dan akhirnya menyebabkan
diare. Mekanisme ini merupakan dasar dari diagnosis dan terapi. Mekanisme
tersebut yaitu :
- perubahan transpor ion aktif dengan baik
penurunan penyerapan natrium atau peningkatan sekresi klorida,
-
perubahan motilitas usus,
-
peningkatan osmolaritas luminal, dan
-
peningkatan tekanan hidrostatik jaringan.
Mekanisme ini telah berhubungan
dengan empat kelompok besar diare klinis: sekretorik, osmotik, eksudatif, dan
perubahan transit intestinal (Dipiro, 2005).
Sekretori diare terjadi ketika
terdapat zat yang merangsang kenaikan atau penurunan penyerapan jumlah
besar air dan elektrolit. Zat yang menyebabkan sekresi berlebih termasuk peptida
usus vasoaktif (VIP) dari kelenjar pankreas, lemak dari makanan yang tidak
terserap di daerah steatorrhea, pencahar, hormon (seperti secretin), toksin
bakteri, dan garam empedu yang berlebihan. Banyak dari agen merangsang adenosin
monofosfat siklik intraseluler dan menghambat Na + / K +-ATPase,
yang menyebabkan peningkatan sekresi. Juga, banyak dari mediator menghambat
penyerapan ion secara bersamaan. Secara klinis, diare sekretori ditandai oleh
volume tinja yang besar (> 1 L / hari) dengan kandungan ionik normal dan
osmolalitas kurang lebih sama dengan plasma (Dipiro, 2005).
Puasa tidak mengubah volume tinja.
Terjadi sedikit penyerapan untuk
mempertahankan cairan usus, hal ini menyebabkan diare osmotik. Proses
ini terjadi dengan sindrom malabsorpsi, intoleransi laktosa, administrasi ion
divalen (misalnya, magnesiumcontaining antasida), atau konsumsi
karbohidrat yang sukar larut (misalnya,
laktulosa). Pengangkutan karbohidrat yang sukar larut menyebabkan usus
menyesuaikan osmolalitas agar sesuai dengan plasma, dengan demikian, air dan elektrolit
terdistribusi ke dalam lumen. Secara klinis, diare osmotik ini dapat dibedakan
dari jenis lain, karena berhenti jika pasien sedang dalam keadaan puasa
(Dipiro, 2005).
Inflamasi pada saluran cerna
menyebabkan pelepasan lendir, protein serum, dan darah ke usus. Kadang-kadang
ketika buang air besar hanya terdiri dari lendir, eksudat, dan darah. Exudative
diare mungkin mempengaruhi fungsi absorpsi, sekresi, atau motilitas yang
menyebabkan besarnya volume feses (Dipiro, 2005).
Perubahan motilitas usus menyebabkan
diare melalui tiga mekanisme yaitu : penurunan waktu kontak dalam pengosongan
usus halus, pengosongan kolon yang terlalu cepat, dan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan. Chyme harus menyentuh epitel usus untuk jangka waktu yang cukup
untuk memungkinkan penyerapan normal dan proses sekresi. Jika waktu kontak
dikurangi, maka akan menyebabkan diare. Reseksi usus atau operasi dan obat-obatan (seperti
metoclopramide) menyebabkan dapat menyebabkan diare jenis ini. Di sisi lain,
peningkatan waktu pemaparan memungkinkan bakteri fecal tumbuh dengan cepat.
Pola karakteristik diare ini adalah cepat, deras, kecil, Gelombang ini tidak efisien, tiada ada
mekanisme penyerapan, dan cepat mengalirkan chyme ke kolom (Dipiro, 2005).
4.
Tanda-Tanda dan Gejala
a. Tanda-tanda dan gejala
diare, antara lain :
Ø
Untuk diare akut, antara lain:
-
Tinja mendadak encer dan berair
-
Perut kram dan nyeri, urgensi rektal, mual, kembung, dan demam mungkin
terjadi.
-
Berlangsung 3 sampai 4 hari.
-
Jika berasal dari infeksi akut tinja mungkin berdarah dan mengalami sakit
perut yang sangat parah’
(Burns,
2008)
Ø
Untuk diare kronis, antara lain:
-
Penurunan berat badan dan lemah.
-
Dehidrasi yang ditunjukan dengan buang air kecil menurun, urin berwarna
gelap, membran mukosa kering, takikardi, rasa haus meningkat.
(Burns,
2008)
b. Pemeriksaan fisik
Biasanya menunjukkan hyperperistalsis
dengan kelembutan borborygmi dan umum
atau lokal (Dipiro, 2005).
c. Tes laboratorium
-
Studi analisis feses mencakup pemeriksaan untuk mikroorganisme, darah,
lendir, lemak, osmolalitas, pH, elektrolit dan konsentrasi mineral, dan
jaringan.
-
Alat tes feses sangat berguna untuk
mendeteksi virus GI, khususnya rotavirus.
-
Pengujian serologi Antibodi menunjukkan kenaikan titer lebih dari 3 - 6
hari, tetapi tes ini tidak praktis dan spesifik.
-
Kadang-kadang, total volume tinja harian juga ditentukan.
-
Pemeriksaan dengan endoskopi dan
biopsi usus besar dapat dilakukan untuk menilai adanya kondisi seperti kolitis
atau kanker.
-
Penelitian radiografi sangat membantu dalam kondisi neoplastik dan
inflamasi.
(Dipiro, 2005).
5. Terapi Diare
a.
Preventif (Pencegahan)
Diare akut akibat virus
sering terjadi di tempat penitipan anak. Virus disebarkan melalui kontak
langsung dengan orang sehingga, untuk menghindarinya harus dilakukan isolasi.
Untuk mencegah infeksi akibat bakteri, parasit, dan protozoa, dilakukan
pengolahan makanan dan air yang ketat, sanitasi, serta menjaga kebersihan
lingkungan. Apabila diare yang terjadi diakibatkan oleh penyakit lain, kontrol
terhadap penyakit tersebut harus dilakukan. Antibiotik dan bismut subsalisilat
disarankan untuk mencegah diare untuk orang-orang yang akan berpergian (Dipiro,
2005).
b.
Terapi Non-Farmakologi
Manajemen diet adalah prioritas utama dalam
penanganan diare. Dianjurkan untuk menghentikan konsumsi makanan padat dan
produk susu selama 24 jam. Meskipun
demikian, cara perawatan dengan puasa masih dipertanyakan karena belum banyak
dipelajari. Puasa dapat mengendalikan diare osmotik tetapi tidak untuk diare
sekretori.
Apabila pasien mengalami mual dan atau muntah, harus
diberikan makanan yang mudah dicerna selama 24 jam. Jika muntah tidak dapat
dikontrol dapat diberikan antiemetik dan tidak boleh diberikan secara oral.
Setelah pergerakan usus berkurang, mulai dapat diberikan diet makanan lunak.
Pemberian makanan harus dilanjutkan pada anak-anak dengan diare bakterial akut
karena dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas, apakah mereka menerima
cairan rehidrasi oral ataupun tidak. Belum dilakukan studi untuk menentukan
pengaruh pemberian makanan berkelanjutan untuk diare bakterial terhadap orang
tua atau kelompok dengan risiko tinggi lainnya (Dipiro, 2005).
Tujuan terapi diare adalah
memanajemen diet, mencegah kehilangan air, elektrolit, dan keseimbangan
asam-basa, meredakan gejala, dan mengobati penyebab diare. Tenaga kesehatan
harus paham bahwa diare, seperti juga batuk, mungkin merupakan mekanisme
pertahanan tubuh dari substansi yang berbahaya atau patogen ( Dipiro, 2005).
c.
Terapi Farmakologi
Berbagai obat telah digunakan untuk mengobati serangan diare. Obat ini
dikelompokkan menjadi beberapa kategori: antimotilititas, adsorben, senyawa
antisekretori, antibiotik, enzim, dan mikroflora usus. Biasanya obat ini tidak
menyembuhkan tetapi meringankan penyakit saja.
Adapun penggolongan obat yang digunakan meliputi :
Ø Adsorbents dan Bulk Agents
Ø Antiperistaltic (Antimotility) Agents
Ø Antisecretory Agents
Ø Anti-Infectives
Ø Probiotics
(Burns, 2008)
Berikut adalah tabel nama obat dan dosis yang digunakan untuk terapi diare.
Tabel 1. Nama Obat dan Dosis (Dipiro, 2005)
Preparat Lactobacillus digunakan
untuk menggantikan koloni mikroflora sehingga dapat mengembalikan fungsi
intestinal serta menekan pertumbuhan mikroorganisme patogenik. Produk susu yang
mengandung 200-400 gram laktosa atau dekstrin efektif untuk merekolonisasi flora
normal (Dipiro, 2005).
Berikut adalah bagan untuk terapi
diare akut:
Berikut adalah langkah – langkah yang direkomendasikan untuk pengobatan
diare akut:
1. Lakukan pemeriksaan fisik dan
riwayat penyakit.
2. Apakah diarenya akut atau
kronik?
3. Jika diarenya akut, periksa
apakah ada demam atau gejala- gejala sistemik (misal keracunan). Jika terjadi
gejala sistemik (demam, anoreksia, kehilangan cairan tubuh), periksa sumber
infeksi. Jika positif diare disebabkan oleh infeksi, gunakan terapi antibiotik
atau antelmintik. Jika negatif, lakukan pengobatan gejala saja.
4. Jika tidak ditemukan gejala
sistemik, lakukan terapi untuk mengatasi hilangnya cairan tubuh, berikan cairan
elektrolit oral/parenteral, agen antidiare.
(Dipiro, 2005)
6.
Evaluasi
Hasil Terapi
Secara umum,
langkah-langkah terapi diarahkan
terhadap gejala, tanda, dan studi laboratorium. Konstitusi gejala biasanya
membaik dalam waktu 24 hingga 72 jam. Monitoring untuk perubahan frekuensi dan
karakter buang air besar setiap hari dalam hubungannya dengan tanda-tanda vital
dan perbaikan nafsu makan adalah sangat penting. Selain itu, dokter perlu
memantau berat badan, osmolalitas serum, elektrolit serum, jumlah sel darah,
dan urine (Burns. 2008)
Untuk diare akut, dengan
tidak adanya dehidrasi sedang hingga berat, demam tinggi, dan darah atau lendir
dalam tinja, penyakit ini biasanya sembuh dalam waktu 3 sampai 7 hari. Diare
akut yang ringan sampai sedang biasanya diobati secara rawat jalan dengan
rehidrasi oral, pengobatan simtomatik, dan diet. Orang-orang tua dengan
penyakit kronis dan bayi mungkin memerlukan rawat inap untuk rehidrasi
parenteral dan monitoring yang ketat.
Untuk diare kronis, dalam situasi yang mendesak,
pemulihan status volume pasien adalah hasil yang paling penting. Pasien dengan demam dehidrasi, hematochezia, atau
hipotensi memerlukan rawat inap, infus cairan elektrolit, dan terapi antibiotik
sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas. Dengan manajemen yang tepat
waktu, pasien biasanya dapat sembuh dalam beberapa hari (Dipiro, 2005).
Refference:
Burns, Marie A. Chisholm,
Barbara G.Wells, Terry L. Schwinghammer, Patrick M. Malone, Jill M. Kolesar, John C. Rotschafer, Joseph T. Dipiro. 2008. Pharmacotherapy Principles and Practice.
The McGraw-Hill Companies : United States of America
Dipiro,
Joseph T. Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells, L. Michael Posey. 2005. Pharmacotherapy:
A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
the United States of America.
Wells, Barbara G., Joseph T.
Dipiro, Terry L. Schwinghammer, Cindy W. Hamilton. 2006. Pharmacotherapy Handbook, 6th Edition. The McGraw-Hill
Companies : United States of America.
0 komentar:
Post a Comment