1. Definisi
Osteoarthritis
(OA) merupakan penyakit yang berkembang dengan lambat, biaa mempengaruhi
terutama sendi diatrodial yang menahan beban dari aksial perifer dan rangka
aksial. Penyakit ini ditandai dengan kerusakan dan hilangnya kartilago
artikular yang berakibat pada pembentukan osteofit, rasa sakit, pergerakan yang
terbatas, deforminitas, dan cacat progresif. Inflamasi dapat terjadi atau tidak
pada sendi yang terkena (Wells et al.,
2009).
2. Etiologi
Terdapat beberapa teori tentang etiologipenyakit OA, akan tetapi masih
tetap menjadi perdebatan. Beberapa faktor risiko yang berperan dalam kejadian
OA diantaranya adalah kadar estrogen rendah, kadar insulin-like growth factor 1
(IGF-1) rendah, usia, obesitas, jenis kelamin wanita, ras, genetik, aktifitas
fisik yang melibatkan sendi yang bersangkutan, trauma, tindakan bedah
orthopedik seperti menisektomi, kepadatan massa tulang, merokok, endothelial
cell stimulating factor dan diabetes mellitus. Usia dan jenis kelamin wanita
merupakan faktor risiko utama terjadinya OA, terutama pada lutut. The First
National Health and Nutritional Examination Survey (HANES I) di Inggris
memperlihatkan, bahwa obesitas, ras, dan pekerjaan mempunyai korelasi terhadap
terjadinya OA lutut.
Framingham dan kawan-kawan secara tidak sengaja menemukan efek protektif
merokok terhadap kejadian OA lutut. Temuan tersebut ternyata tetap konsisten
meskipun telah dilakukan penyesuaian terhadap usia, jenis kelamin, berat badan,
derajat keparahan penyakit, riwayat traumaatau operasi lutut, olah raga,
tingkat aktifitas fisik, konsumsi alkohol ataupun kopi. Sedangkan penelitian
Cooper C memperlihatkan, bahwa aktifitas fisik yang berulang-ulang atau
beberapa jenis pekerjaan tertentu akan menimbulkan proses OA pada lutut.
Secara garis besar terdapat dua hal yang berperan dalam proses
patogenesis OA, yaitu biomechanical dan biochemical insults. Kedua proses
tersebut mengakibatkan terpicunya berbagai proses reaksi enzimatik seperti
dikeluarkannya enzim proteolitik atau kolagenolitik oleh khondrosit yang dapat menghancurkan
matriks rawan sendi. Dengan perkataan lain, etiopatogenesis OA masih belum
jelas apakah karena keausan sendi akibat proses penuaan ataupun proses
degeneratif, atau peran faktor lain seperti proses inflamasi kronik.
Meski berlainan proses kejadian OA pada sendi penumpu berat badan atau
bukan, nyatanya ada kesamaan akibat yang ditimbulkannya, yakni kerusakan rawan sendi.
Dasar utama konsep degenerasi pada patogenesis OA adalah proses wear and tear, yaitu kerusakan sendi
yang diikuti perbaikan sebagai respons tulang subkhondral yang tampak berupa
pembentukan osteofit atau spur. Konsep ini umumnya dikaitkan dengan faktor
risiko usia dan beban biomekanik pada sendi tanpa mengabaikan proses inflamasi
yang terjadi secara bersamaan. Teoritis, proses perbaikan tersebut dapat
dideteksi melalui pengukuran 2,6-dimethyldifuro-8-pyrone(DDP) yang merupakan
petanda mutakhir degradasi rawan sendi. Selain itu, tampak peningkatan granulocyte macrophage-colony stimulating
factor (GM-CSF) yang berperan pada metabolisme khondrosit. Sedangkan efusi
yang terjadi pada beberapa kasus OA berkaitan dengan peran sinovium yang
berfungsi dalam sintesis cairan sendi (Hansen and Elliot,2005).
Perbedaan lain yang ditunjukkan konsep degenerasi adalah dalam hal
mengatasi nyeri pada OA. Baik terapi non-farmakologik seperti terapi fisik
dengan pemanasan atau terapi latihan, maupun pemberian obat-obatan (analgetik
atau NSAIDs) secara sendiri-sendiri ataupun kombinasi seringkali sudah
mencukupi untuk mengatasi rasa nyeri. Sebaliknya, apabila proses inflamasi
menjadi dasar patogenesis OA, tentu respons terhadap analgetik seperti
paracetamol tidak akan sebaik NSAIDs. Nyatanya meski tanda-tanda inflamasi
jelas terlihat, tetapi tidak semua NSAIDs memberikan respons yang baik dalam
mengatasi rasa nyeri pada OA tersebut (DepKes RI, 2006).
Di sisi lain, konsep inflamasi pada patogenesis OA didasari oleh
banyaknya bukti respons inflamatif baik akut ataupun kronik. Salah satu petanda
respons inflamasi akut adalah peningkatan C-reactive
protein (CRP). Peningkatan jumlah lekosit dalam cairan sendi, kadar protein
rendah dan buruknya viskositas, serta adanya sebukan sel radang pada sinovium
merupakan bukti kuat yang menunjang teori inflamasi pada patogenesis OA.
Selanjutnya, inflamasi akan memicu rangkaian enzimatik seperti peningkatan
enzim metaloproteinase (MMP), kolagenase yang diinduksi interleukin-1 (IL-1)
yang kelak mengakibatkan kerusakan rawan sendi. Produksi IL-1 dipicu oleh tumor necrotizing factor-α (TNF-α) yang
dapat merusak matriks dan menghambat sintesis matriks (Hansen and Elliot,2005).
Beberapa tipe OA
antara lain :
- OA
inflamatif; mempunyai manifestasi inflamasi yang sangat menonjol, seringkali
dijumpai efusi sendi.
- OA nodal; yaitu suatu bentuk OA
yang disertai nodus-nodus.
- DISH (diffuse idiopathic skeletal
hyperosthosis); varians dari OA.
- OA sekunder; yakni OA yang terkait
penyakit lainny
(DepKes RI, 2006).
3. Patofisiologi
OA diklasifikasikan menjadi dua kelas utama dalam etiologi. OA primer
(idiopatik) merupakan jenis yang paling umum dan tidak memiliki penyebab yang
dapat diidentifikasi. Subkelas dari OA primer adalah OA yang melibatkan satu
atau dua daerah (lokal), dan OA yang mempengaruhi tiga atau lebih daerah (umum).
Osteoarthritis erosif digunakan untuk menggambarkan adanya erosi dan proliferasi yang ditandai pada sendi interphalangeal proksimal dan distal dari tangan. OA sekunder terkait
dengan penyebab yang diketahui seperti arthritis atau inflamasi arthritis
lainnya, trauma, metabolik atau gangguan endokrin, dan faktor bawaan (Dipiro et al., 2008).
Kartilago Normal
Kartilago (tulang rawan) artikular merupakan zat yang unik dengan sifat
viskoelastik yang memberikan pelumasan pada gerakan dan dukungan beban. Pada
sendi sinovial, kartilago artikular ditemukan antara rongga sinovial di satu
sisi, dan lapisan sempit jaringan terkalsifikasi dengan tulang subkondral
atasnya pada sisi lain (Gambar 3). Lapisan kartilago yang sempit, dengan medial femoral
tulang rawan artikular yang kira-kira memiliki tebal 2 sampai 3 mm pada
manusia. Meskipun demikian, kartilago artikular dapat menahan beban sendi.
Kartilago artikular memungkinkan gerakan disemua tempat, mendistribusikan beban
di jaringan sendi untuk mencegah kerusakan, dan menstabilkan sendi. Kartilago terdiri
dari matriks kompleks hidrofilik ekstraseluler (Dipiro et al., 2008).
Kartilago mengandung sekitar 75% sampai85% air, 2% sampai 5% kondrosit
(satu-satunya sel dalam kartilago), dan mengandung protein kolagen, jumlah yang
lebih kecil dari beberapa protein lain, proteoglikan, dan molekul panjang asam hyaluronat.
Proteoglikan menggabungkan molekul asam hyaluronat yang panjang untuk membentuk
kompleks yang besar, yang terletak dalam anyaman serat kolagen. Katilago artikular
dewasa adalah avaskular dengan kondrosit yang dipelihara oleh cairan sinovial.
Gerakan dan beban siklik pembongkaran sendi menyebabkan nutrisi dapat dialirkan
ke kartilago, sedangkan imobilisasi mengurangi persediaan nutrisi (Dipiro et al., 2008).
Kartilago Osteoathritis (OA)
Pada tingkat molekuler, patofisiologi OA melibatkan interaksi puluhan
bahkan ratusan molekul ekstraseluler dan intraseluler termasuk regulasi
kondrosit, degradasi proteolitik komponen kartilago, dan interaksi antara kartilago
artikular, dasar tulang subkondral dan sendi sinovium. OA paling sering dimulai
dengan kerusakan pada kartilago artikular karena trauma atau cedera lain, beban
sendi berlebih pada obesitas atau alasan lain, atau ketidakstabilan atau cedera
sendi yang menyebabkan beban abnormal (Dipiro et al., 2008).
Kerusakan kartilago meningkatkan metabolisme aktivitas kondrosit yang
menyebabkan peningkatan sintesis konstituen matriks dengan pembengkakan
kartilago. Kerusakan ini tidak dapat mengembalikan kartilago menjadi normal
tetapi merupakan langkah pertama dalam proses yang menyebabkan hilangnya kartilago
lebih lanjut. etelah fase hipertrofi,
terjadi peningkatan sintesis matriks metaloproteinase (MMPs) 1, 3, 13, dan 28
yang menyebabkan kerusakan kolagen untuk terjadi lebih cepat dari sintesisnya.
Kondrosit berkontribusi terhadap hilangnya kolagen dengan mengeluarkan MMPs
dalam menanggapi mediator inflamasi yang hadir dalam OA (interleukin-1 dan tumor necrosis factor-α). Kondrosit juga
mengalami apoptosis, kemungkinan sebagai akibat dari induksi sintase intrit oksida dan produksi metabolit beracun. Hal ini membuat lebih
sedikit kondrosit untuk mensintesis komponen matriks. Kondrosit OA juga kurang
responsif terhadap rangsangan anabolik perubahan growth factor-β. Hasil dari proses ini adalah kerusakan kartilago
secara progresifdan kehilangan kondrosit. Tulang subkondral yang
berdekatan dengan kartilago artikular juga mengalami pergantian tulang yang
lebih cepat dengan peningkatan aktivitas osteoklast dan osteoblast. Terdapat
hubungan antara pelepasan peptida vasoaktif dan matriks metalloproteinase,
neovaskularisasi, dan peningkatan permeabilitas kartilago yang berdekatan.
Peristiwa ini selanjutnya menakibatkan degradasi kartilago pada akhirnya
hilangnya kartilago berakibat pada rasa sakit dan deformitas sendi (Wells et al., 2009).
Kehilangan banyak kartilago menyebabkan penyempitan ruang sendi dan
menyebabkan nyeri serta cacat sendi. Sisa tulang rawan melembutkan dan mengembangkan
fibrilasi, kehilangan tulang rawan lebih lanjut, dan paparan tulang yang
mendasarinya. Kartilago akhirnya terkikis sepenuhnya, meninggalkan tulang subkondral
gundul yang menjadi padat, halus, dan berkilau (eburnation). Sedikit bersifat lebih rapuh, hasil tulang kaku dengan
penurunan kemampuan menahan beban dan pengembangan sclerosis dan
microfractures. Formasi tulang baru (osteofit) yang timbul dari faktor-faktor lokal dan humoral muncul pada tepi sendi, jauh dari area
dekstruksi kartilago. Perubahan inflamasi lokal terjadi pada kapsul sendi dan
sinovium.
Sinovium diinfiltrasi dengan sel T, dan kompleks imun muncul. Kristal atau pecahan kartilago pada cairan sinovial dapat menyebabkan peradangan. Terdapat juga peningkatan kadar interleukin-1, prostaglandin E2, tumor necrosis factor-α, dan oksida nitrat dalam cairan sinovial. Inflamasi mengakibatkan efusi dan penebalan sinovial. Rasa sakit dari OA muncul dari aktivasi ujung saraf nociceptive dalam sendi oleh iritasi mekanik dan kimia. Nyeri OA dapat terjadi akibat distensi dari kapsul sinovial oleh peningkatan cairan sendi; microfracture; iritasi periosteal, atau kerusakan ligamen, sinovium, atau meniskus (Wells et al., 2009). .
Sinovium diinfiltrasi dengan sel T, dan kompleks imun muncul. Kristal atau pecahan kartilago pada cairan sinovial dapat menyebabkan peradangan. Terdapat juga peningkatan kadar interleukin-1, prostaglandin E2, tumor necrosis factor-α, dan oksida nitrat dalam cairan sinovial. Inflamasi mengakibatkan efusi dan penebalan sinovial. Rasa sakit dari OA muncul dari aktivasi ujung saraf nociceptive dalam sendi oleh iritasi mekanik dan kimia. Nyeri OA dapat terjadi akibat distensi dari kapsul sinovial oleh peningkatan cairan sendi; microfracture; iritasi periosteal, atau kerusakan ligamen, sinovium, atau meniskus (Wells et al., 2009). .
4. Manifestasi Klinik
·
Prevalensi dan keparahan OA meningkat dengan usia.
Potensi faktor risiko termasuk obesitas, penggunaan berulang melalui kegiatan
bekerja atau aktivitas di waktu luang, trauma persendeian dan hereditas.
· Gambaran klinis tergantung pada durasi dan
keparahan penyakit dan jumlah sendi yang terkena. Gejala dominan adalah rasa sakit yang dalam dan
telokalisasi berhubungan dengan sendi yang terkena. Pada awal OA, nyeri menyertai aktivitas persendian dan berkurang dengan istirahat. Selanjutnya
nyeri terjadi walaupun dengan aktifitas minimal atau dalam keadaan istirahat.
· Sendi yang paling sering terkena adalah sendi
iterfalangeal distal dan proksimal (DIP dan PIP) pada tangan, sendi carpometacarpal
(CMC) pertama, lutut, pinggul, leher dan lumbar tulang belakang, dan sendi
metatarsophalangeal (MTO) pertama pada jari kaki.
· Selain rasa sakit, keterbatasan gerak, kekakuan,
krepitus, dan deformitas (cacat) mungkin terjadi. Pasien dengan lower
extremity involvemen dapat melaporkan suatu perasaan kelemahan atau ketidakstabilan.
· Setelah timbul, kekakuan sendi biasanya
berlangsung kurang dari 30 menit dan sembuh dengan bergerak. Pembesaran sendi berkaitan dengan proliferasi tulang atau penebalan sinovium dan kapsul sendi. Adanya rasa hangat, kemerahan, dan sendi empuk mungkin mengesankanterjadi inflamasi sinovitis.
· Deformitas sendi dapat hadir pada tahap
selanjutnya sebagai akibat dari subluksasi, runtuhnya tulang subkondral, pembentukan kista tulang, atau pertumbuhan tulang
berlebih.
· Pemeriksaan fisik terhdap sendi yang terkena ditandai
dengan tenderness, krepitus, dan mungkin pembesaran sendi. Nodus Heberden dan Bouchard secara berturut-turut
merupakan pembesaran tulang (osteofit) dari sendi DIP dan PIP.
(Wells
et al., 2009).
5. Penatalaksanaan Terapi
A. Hasil yang Diharapkan (Goal
Therapy)
Pengobatan adalah spesifik secara individual dan harus mempertimbangkan riwayat medis pasien, pemeriksaan fisik, temuan radiografi, distribusi dan keparahan persendian yang terlibat, dan respon terhadap pengobatan sebelumnya. Kondisi penyakit penyerta, pengobatan yang sedang dijalani pasien saat ini, dan alergi diintegrasikan ke dalam suatu pendekatan pengobatan holistik. Tujuan terapi meliputi :
Pengobatan adalah spesifik secara individual dan harus mempertimbangkan riwayat medis pasien, pemeriksaan fisik, temuan radiografi, distribusi dan keparahan persendian yang terlibat, dan respon terhadap pengobatan sebelumnya. Kondisi penyakit penyerta, pengobatan yang sedang dijalani pasien saat ini, dan alergi diintegrasikan ke dalam suatu pendekatan pengobatan holistik. Tujuan terapi meliputi :
·
Edukasi kepada pasien dan perawat / keluarga
pasien
·
Menghilangkan rasa sakit
·
Memelihara atau memulihkan mobilitas
·
Meminimalkan gangguan fungsional
·
Memelihara integritas persendian
· Meningkatkan kualitas hidup pasien
· Meningkatkan kualitas hidup pasien
(Burns et al., 2008)
Terapi nonfarmakologi terdiri dari tiga pendekatan yaitu pendidikan,
modifikasi gaya hidup, dan terapi fisik. Program pendidikan atau edukasi merupakan
suatu pendekatan sistematis yang dirancang untuk meningkatkan perilaku
kesehatan dan status kesehatan pasien, sehingga dapat memperlambat perkembangan
osteoartritis (OA). Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan
kepercayaan diri dalam menghadapi gejala yang berkembang sehubungan dengan
penyesuaian terhadap aktivitas sehari-hari. Program yang efektif menghasilkan perubahan
perilaku yang positif, penurunan nyeri dan cacat, serta peningkatan fungsi. Selain
hasil fisik, hasil psikologis seperti depresi, self-efficacy, dan kepuasan hidup secara positif juga dipengaruhi
(Burns et al., 2008).
Modifikasi gaya hidup harus dilakukan pada semua pasien dengan risiko OA
dan pada pasien yang menderita OA. Latihan aerobik dan program pelatihan
kekuatan dapat meningkatkan kapasitas fungsional pada orang dewasa dengan OA.
Peregangan dan latihan penguatan harus ditargetkan bagi sendi yang rentan atau
telah menunjukkan gejala OA. Sebagai contoh, kekuatan quadriceps yang tidak memadai dapat meningkatkan kerentanan sendi lutut
untuk terkena OA. Sehingga penguatan paha dapat ditargetkan untuk memperkuat
sendi lutut dan meminimalkan risiko. Latihan isometrik dilakukan tiga sampai
empat kali seminggu untuk meningkatkan fungsi fisik dan mengurangi kecacatan,
sakit, dan penggunaan analgesik. Kendala terbesar untuk penerimaan terapi
latihan OA secara luas adalah kesalahpahaman bahwa peningkatan aktivitas akan
memperburuk gejala sendi (Burns et al.,
2008).
The American Geriatrics Society
mengeluarkan pedoman pelaksanaan latihan pada pasien OA. Secara umum,
disarankan untuk merekomendasikan latihan low-impact
yang dilakukan secara rutin. Asosiasi obesitas baik terhadap onset dan progresi
OA membuat pengendalian berat badan merupakan strategi pengobatan yang penting pada
pasien OA.Wanita yang mengalami obesitas dan telah kehilangan rata-rata 5 kg
berat badannya dapat menurunkan risiko OA lutut lebih dari 50 %. Pengendalian berat
badan harus diupayakan melalui modifikasi diet dan peningkatan aktivitas fisik
(Burns et al., 2008).
Penerapan perlakuan panas atau dingin untuk sendi yang terlibat dapat
meningkatkan jangkauan gerak, mengurangi rasa sakit, dan penurunan kejang otot.
Aplikasi praktis terapi panas meliputi mandi dengan air hangat atau pembasahan
air hangat. Bantalan pemanas harus digunakan dengan hati-hati terutama pada
orang tua, dan pasien harus diingatkan akan potensi terjadinya luka bakar jika
digunakan secara tidak tepat. Rujukan ke ahli terapi fisik dapat membantu,
terutama pada pasien dengan cacat fungsional (Burns et al., 2008).
Terapi fisik disesuaikan dengan kondisi pasien yang dapat mencakup
penilaian terhadap kekuatan otot, stabilitas sendi, dan mobilitas ; penggunaan
panas (terutama sebelum episode peningkatan aktivitas fisik) ; rejimen latihan
terstruktur, dan implementasi dari perangkat bantu, seperti tongkat, kruk, dan
pejalan kaki. Terapis okupasi harus menjamin perlindungan sendi dan fungsi secara
optimal, konservasi energi, dan penggunaan splints
dan alat-alat bantu lainnya (Burns et al.,
2008).
C. Terapi Farmakologi
Terapi obat pada OA ditargetkan untuk menghilangkan rasa sakit. OA
umumnya terlihat pada orang tua yang memiliki kondisi medis lainnya, dan
pengobatan OA sering dilakukan dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan
pendekatan konservatif untuk terapi obat yang berfokus pada kebutuhan setiap
pasien. Pasien dengan nyeri ringan atau sedang, analgesik topikal atau
acetaminophen dapat digunakan. Jika tindakan ini gagal, atau jika ada
peradangan, NSAID dapat dijadikan alternatif pengobatan. Selan itu ketika terapi
obat dimulai, terapi non farmakologi yang tepat harus tetap dilanjutkan dan
diperkuat. Modalitas non farmakologi adalah landasan manajemen OA dan dapat
memberikan banyak bantuan sebagai terapi obat (Dipiro et al., 2008). Algoritma terapi osteoartritis (OA) ditampilkan pada
gambar 1, dan dosis dari tiap obat ditambilkan pada tabel 1.
Gambar 4. Algoritma Terapi pada OA (Dipiro
et al., 2008)
1. Acetaminophen
The American College of
Rheumatology merekomendasikan acetaminophen sebagai terapi obat lini
pertama untuk manajemen nyeri dalam
OA karena relatif aman, efektif, dan lebih murah dibandingkan dengan NSAIDs.
Aktivitas analgesik acetaminophen telah dilaporkan mirip dengan aktivitas yang dihasilkan
oleh aspirin , naproxen , ibuprofen, dan NSAID lainnya , meskipun banyak pasien
menunjukkan respon yang lebih baik terhadap penggunaan NSAIDs (Dipiro et al., 2008).
·
Farmakologi dan Mekanisme Aksi
Farmakologi dan mekanisme aksi dari Acetaminophen adalah berhubungan
dengan aktivitas terhadap sistem saraf pusat dengan menghambat sintesis
prostaglandin, agen yang meningkatkan sensasi rasa sakit. Acetaminophen
mencegah sintesis prostaglandin dengan menghalangi aksi siklooksigenase pusat.
Acetaminophen diserap dengan baik setelah pemberian oral, dengan bioavailabilitas
60 % sampai 98 %. Acetaminophen mencapai konsentrasi puncak dalam waktu 1
sampai 2 jam, diinaktivasi dalam hati melalui konjugasi dengan sulfat atau
glukuronida, dan metabolitnya yang diekskresi melalui ginjal (Dipiro et al., 2008).
·
Efikasi
Efikasi perbandingan
aktivitas analgesik Acetaminophen dalam mengatasi nyeri OA ringan sampai moderat
telah ditunjukkan pada pemberian acetaminophen dengan dosis 2,6-4 g/hari,
aspirin 650 mg empat kali sehari, dan NSAID, termasuk ibuprofen pada 1.200 atau
2.400 mg setiap hari, dan naproxen 750 mg/hari. Meskipun penelitian telah menunjukkan
efikasi yang sebanding untuk acetaminophen dan NSAID , beberapa penelitian
telah melaporkan bahwa pasien mengalami kontrol nyeri yang lebih baik dengan NSAID
dibandingkan dengan acetaminophen. Pasien dengan OA telah terbukti lebih
memilih NSAID dibandingkan dengan asetaminofen dalam uji coba klinis, tapi
ketika ditanya dengan menggunakan kuesioner yang mencakup pertimbangan efek
samping, NSAID yang kurang disukai oleh pasien (Dipiro et al., 2008).
·
Efek Samping
Meskipun acetaminophen adalah salah
satu analgesik yang paling aman, penggunaannya membawa beberapa risiko,
terutama hepatotoksisitas dan toksisitas tehadap ginjal pada penggunaan jangka
panjang. Acetaminophen harus digunakan hati-hati pada pasien dengan penyakit
hati atau pada mereka yang menyalahgunakan alkohol. Gagal hati akut telah
dilaporkan pada pasien yang memakai kurang dari 4 g/hari. Faktor risiko yang
paling umum untuk kegagalan hati pada pasien ini adalah asupan alkohol kronis.
FDA telah merekomendasikan bahwa pengguna alkohol kronis (tiga atau lebih
minuman sehari-hari) harus diperingatkan mengenai peningkatan risiko kerusakan
hati atau perdarahan GI dengan acetaminophen.
·
Interaksi Obat-Obat dan Obat-Makanan
Interaksi dengan asetaminofen dapat
terjadi, misalnya isoniazid dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas.
Konsumsi acetaminophen dosis maksimal dalam jangka panjang dapat
mengintensifkan efek antikoagulan pada pasien yang mengkonsumsi warfarin, orang
sehingga diperlukan pemantauan lebih intensif pada pasien tersebut. Meskipun makanan menurunkan setengah dari konsentrasi
serum maksimum acetaminophen, namun efektivitas terapi secara keseluruhan tidak
berubah. Dosis dan administrasi acetaminophen ketika digunakan untuk OA kronis harus
diberikan dengan cara yang dijadwalkan. Konsumsi ini dapat dilakukan dengan
atau tanpa makanan. Acetaminophen dapat dikonsumsi dengan dosis 325-650 mg
setiap 4 sampai 6 jam, tetapi dosis total tidak boleh melebihi 4 g sehari. Jika
acetaminophen digunakan dalam pengaturan asupan alkohol kronis atau pada mereka
dengan penyakit tertentu, durasi harus dibatasi dan dosis tidak boleh melebihi
2 g sehari (Dipiro et al., 2008).
2. NSAID
The American College of
Rheumatology merekomendasikan pertimbangan NSAID untuk pasien OA di
antaranya apabila acetaminophen tidak efektif. NSAID memiliki sifat analgesik
pada dosis yang lebih rendah dan efek antiinflamasi pada dosis yang lebih
tinggi.
·
Farmakologi dan Mekanisme Aksi
Blokade sintesis
prostaglandin dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2)
diperkirakan berkaitan dengan kemampuan NSAID untuk mengurangi rasa sakit dan
peradangan. Karena NSAID nonspesifik dan COX-2 inhibitor selektif memiliki
khasiat yang sama, pemilihan obat sering tergantung pada toksisitas dan biaya. Enzim
COX-1 berpartisipasi dalam menjaga homeostasis atau fungsi fisiologis rutin seperti
generasi prostaglandin gastroprotektif untuk mempromosikan aliran darah lambung
dan generasi bikarbonat. COX-1 diekspresikan secara konstitutif tidak hanya di
mukosa lambung, tetapi juga di sel-sel endotel vaskular, trombosit, dan tubulus
pengumpul di ginjal, sehingga prostaglandin COX-1 yang dihasilkan dan
tromboksan juga berpartisipasi dalam hemostasis dan aliran darah ginjal.
Sebaliknya, enzim COX-2 tidak banyak ditemukan dalam sebagian jaringan tubuh,
namun dengan cepat diinduksi oleh mediator inflamasi, cedera lokal, dan sitokin,
termasuk interleukin, interferon, dan tumor
necrosis factor. Prostaglandin dihasilkan oleh COX-2 dan berkontribusi
terhadap sensasi nyeri pada OA dan kondisi lainnya. Prostaglandin dibuat oleh
enzim COX-2, termasuk prostasiklin (prostaglandin I2) juga terlibat dalam
beberapa proses fisiologis, termasuk fungsi ginjal, perbaikan jaringan,
reproduksi, dan pembangunan (Dipiro et al.,
2008).
NSAID nonspesifik dapat memblokir kedua enzim baik
COX-1 dan COX-2. Berdasarkan pandangan terhadap peran enzim COX, blokade COX-1 yang
terjadi dengan pemberian NSAID nonspesifik berpotensi menghasilkan hal yang tidak
diinginkan dan dapat menyebabkan ulkus GI dan peningkatan risiko perdarahan
dengan menghambat agregasi platelet. Blokade spesifik enzim COX-2 bisa mengurangi
prostaglandin, peradangan, dan nyeri, tanpa menghalangi efek COX-1. Kualitas
yang diinginkan inilah yang menyebabkan berkembangnya agen selektif COX-2 tertentu
(coxib) (Dipiro et al., 2008).
Agen ini manjur dalam menghilangkan OA dan nyeri
lainnya dan beberapa telah meningkatkan keselamatan proteksi terhadap GI. Celecoxib
dan rofecoxib adalah dua agen COX-2 selektif pertama yang dipasarkan dan telah
banyak digunakan untuk menghilangkan rasa sakit pada OA dan kondisi lainnya.
Namun kini diketahui bahwa enzim COX-2 dapat memainkan peran fisiologis penting
dalam hemostasis normal. Enzim COX-2 ditemukan dalam sel-sel endotel pembuluh
darah , menyebabkan produksi prostaglandin I2 (prostasiklin) yang memiliki efek
antitrombotik. Beberapa peneliti mendalilkan bahwa blokade COX-2 saja bisa
mengganggu keseimbangan hemostatik (Dipiro et
al., 2008).
·
Farmakokinetik
Berbagai NSAID
menunjukkan beberapa kesamaan profil farmakokinetik, termasuk bioavailabilitas
oral yang tinggi, ikatan protein yang tinggi, dan penyerapan sebagai obat aktif
(kecuali untuk sulindac dan nabumetone, yang membutuhkan konversi / metabolisme
hati untuk aktivitas tersebut). Perbedaan yang paling penting dalam NSAID adalah
serum waktu paruh berkisar dari 1 jam untuk tolmetin sampai 50 jam untuk
piroksikam, sehingga mempengaruhi frekuensi dosis dan kekuatan serta kepatuhan
terapi (Dipiro et al., 2008).
Eliminasi NSAID
sangat tergantung pada inaktivasi hati, dengan sebagian kecil dari obat aktif
yang diekskresi melalui ginjal. NSAID menembus cairan sendi, mencapai sekitar
60 % dari level darah. NSAID sering diresepkan untuk pasien OA yang setelah
pengobatan dengan acetaminophen terbukti tidak efektif atau untuk pasien dengan
inflamasi OA. Semua NSAID dan aspirin memiliki efek analgesik dan antiinflamasi
yang sama, namun agen ini hanya sedikit lebih efektif daripada acetaminophen.
Dalam mengevaluasi keberhasilan dalam studi OA, titik akhir yang umum digunakan
termasuk nyeri pada skala analog visual (0 hingga 100), dan penilaian global
pasien terhadap aktivitas penyakit dan status fungsional, dinilai menggunakan
indeks kuisioner Ontario Barat dan Universitas McMaster. Karena perbedaan
antara desain studi dan populasi pasien, perbandingan antara khasiat pengobatan
sebaiknya dilakukan dalam studi yang sama (Dipiro et al., 2008).
Sebuah tinjauan
sistematis studi NSAID untuk OA tidak menemukan bukti untuk mendukung peringkat
definitif dari efikasi NSAID. Namun respon pasien terhadap NSAID tidak berbeda
antara individual. Oleh karena itu peresepan sering kali didasarkan pada
pengalaman pribadi dalam pemilihan NSAID. Untuk menilai keberhasilan dalam
masing-masing pasien, dibutuhkan percobaan yang memadai dalam hal waktu (2-3 minggu)
dan dosis yang dibutuhkan. Jika percobaan pertama gagal, NSAID dengan kelas
sama atau kelas kimia lain dapat dicoba sampai suatu agen efektif ditemukan.
Kombinasi dua NSAID dapat meningkatkan efek samping tanpa memberikan manfaat
tambahan dalam terapi (Dipiro et al.,
2008).
·
Efek Samping
Efek samping yang
paling umum dari NSAID melibatkan gangguan pada saluran pencernaan, dan berkontribusi
terhadap banyaknya kegagalan pengobatan. Keluhan ringan seperti mual,
dispepsia, anoreksia, nyeri perut, perut kembung, dan diare, mempengaruhi 10-60
% dari pasien. Untuk meminimalkan gejala ini, NSAID harus diberikan bersamaan
dengan makanan atau susu, kecuali untuk produk salut enterik yang tidak boleh diberikan
dengan susu atau antasid (Dipiro et al.,
2008).
Semua NSAID
memiliki potensi untuk menyebabkan pendarahan GI. NSAID non ion memasuki sel
mukosa lambung, melepaskan ion hidrogen dan terkonsentrasi (ion terperangkap)
di dalam sel, dengan kematian atau kerusakan sel. Cedera mukosa lambung juga
bisa terjadi akibat penghambatan efek gastroprotektif dari prostaglandin oleh NSAID.
Situs yang paling umum dari cedera GI adalah mukosa lambung dan duodenum. Insiden
ulkus lambung dengan penggunaan NSAID adalah sekitar 11-13 %, dan untuk ulkus
duodenum adalah 7-10 % (Dipiro et al.,
2008).
Bagian penting dari
keputusan dokter mengenai penggunaan awal NSAID untuk terapi pasien OA adalah
risiko pasien terhadap toksisitas GI. Peningkatan risiko GI terlihat bagi
mereka dengan riwayat ulkus rumit (risiko relatif [RR] 13,5), penggunaan
beberapa NSAID, termasuk aspirin (RR=9), penggunaan dosis tinggi NSAID (RR=7),
penggunaan antikoagulan (RR=6,4), usia yang lebih tua dari 70 tahun (RR=5,6),
dan penggunaan bersama dengan kortikosteroid (RR=2,2) (Dipiro et al., 2008).
Obat-obatan yang
tersedia untuk pengobatan atau pencegahan ulcer pada pasien yang berisiko
tinggi salah satunya adalah dengan misoprostol. Misoprostol melindungi terhadap
kedua efek samping NSAID baik ulkus lambung dan duodenum, dan yang lebih
penting adalah bagi pasen yang terkait komplikasi GI yang serius (perforasi,
obstruksi lambung, dan perdarahan). Namun misoprostol sering menyebabkan diare
dan kram perut. Karena sifatnya sebagai abortifacient
, misoprostol merupakan kontraindikasi pada kehamilan dan pada wanita usia
subur yang tidak mempertahankan kontrasepsi yang memadai (Dipiro et al., 2008).
Agen lain telah
dievaluasi dalam upaya untuk mencegah NSAID yang menginduksi gastropati.
Golongan Proton Pump Inhibitor (PPI)
tampaknya efektif, meskipun sukralfat atau H2 antagonis tidak terbukti menjadi
pelindung. Dalam meta-analisis terbaru yang mencakup 156 penelitian,
misoprostol, COX-2 selektif NSAIDs, dan PPI dinilai dapat mengurangi risiko
gejala ulkus secara signifikan. Saat ini, penggunaan baik COX-2 inhibitor
selektif, atau NSAID dalam kombinasi dengan inhibitor pompa proton atau
misoprostol direkomendasikan untuk pengobatan pasien OA yang beresiko tinggi
untuk komplikasi GI oleh otoritas OA di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa
(Dipiro et al., 2008).
Efek lain yang juga
dapat ditimbulkan dari penggunaan NSAID adalah insufisiensi ginjal apabila
diberikan untuk pasien yang fungsi ginjalnya tergantung pada prostaglandin. Pasien
dengan insufisiensi ginjal kronis atau disfungsi ventrikel kiri, orang tua, dan
orang-orang yang menerima diuretik atau obat yang mengganggu sistem
renin-angiotensin sangat rentan untuk mengalami hal tersebut. Penurunan
filtrasi glomerulus juga dapat menyebabkan hiperkalemia. NSAID kadang menyebabkan
nefropati tubulointerstitial dan nekrosis papiler ginjal (Burns et al., 2008).
Peringatan harus
diperhaikan pada wanita hamil dan wanita usia subur karena risiko perdarahan
sangat tinggi jika janin terkena aktivitas antiplatelet NSAID. Ibuprofen dan
naproxen dinilai termasuk dalam kategori kehamilan B pada trimester pertama dan
kedua oleh Food and Drug Administration
(FDA). Indometasin dan sulindac belum dinilai, sedangkan celecoxib dan etodolac
adalah kategori C. NSAID merupakan kontraindikasi selama trimester ketiga
karena mereka dapat meningkatkan penutupan duktus arteriosus prematur pada
janin (Burns et al., 2008).
·
Interaksi Obat
NSAID rentan terhadap interaksi obat karena ikatan
protein yang tinggi, efek merugikan ginjal, dan aktivitas antiplatelet. Interaksi
yang sering ditemui dengan aspirin, warfarin, hypoglycemics oral, antihipertensi,
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor,
angiotensin-receptor blockers (ARB),
β-blocker, diuretik, dan lithium. Ketika interaksi dengan NSAID terjadi,
pemantauan kewaspadaan diperlukan untuk keberhasilan terapi (misalnya, NSAID menurunkan
efek antihipertensi dari diuretik) dan efek samping (misalnya, NSAID menyebabkan
peningkatan risiko perdarahan pada pasien dengan terapi antikoagulan) (Burns et al., 2008).
3. Glucosamine dan Chondroitin
Glukosamin diyakini berfungsi sebagai agen chondroprotective, yang merangsang matriks tulang rawan dan
melindungi dari kerusakan kimia oksidatif. Chondroitin diberikan sering dalam
kombinasi dengan glukosamin, yang diduga dapat menghambat enzim degradatif dan berfungsi
sebagai substrat untuk produksi proteoglikan (Burns et al., 2008). Dosis yang dianjurkan setidaknya 1.500 mg/hari untuk
glukosamin dan 1.200 mg/hari untuk kondroitin. Komponen glukosamin harus berupa
garam sulfat karena keberhasilan hampir semua studi positif menggunakan garam
sulfat yang lebih baik diserap dibandingkan garam klorida (Dipiro et al., 2008).
Banyak uji klinis telah mengevaluasi efektivitas zat ini untuk pengobatan
OA. Namun kualitas beberapa studi ini telah dipertanyakan. Dalam konteks
keterbatasan tersebut, glucosamine dan chondroitin dapat mengurangi rasa sakit
dan meningkatkan mobilitas sebesar 20-25 %. Agen ini juga dapat memperlambat
perkembangan penyakit dengan mengurangi tingkat kehancuran tulang rawan,
meskipun dampak efek klinis masih belum jelas. Glucosamine tidak efektif untuk
mengobati nyeri akut. Efek menguntungkan umumnya mencapai puncak selama periode
minggu. Sebuah studi Eropa yang membandingkan produk glukosamin resep dengan
acetaminophen dan plasebo pada pasien dengan OA lutut, melaporkan bahwa
glucosamine memberikan efek lebih baik dibandingkan dengan plasebo dan daripada
acetaminophen. Berdasarkan data yang tersedia, glucosamine dan chondroitin
dapat efektif untuk beberapa asien dengan OA lutut. Mengingat profil keamanan
yang menguntungkan dari glukosamin dan kondroitin, maka agen ini dapat
digunakan sebagai pilihan pengobatan untuk pasien dengan gejala OA lutut (Burns
et al., 2008).
4. Kortikosteroid
Injeksi glukokortikoid secara intraartikular dapat memberikan efek
analgesik yang sangat baik, terutama ketika ditemukan adanya efusi sendi.
Aspirasi efusi dan injeksi glukokortikoid dilakukan secara aseptik, dengan
pemeriksaan aspirasi yang direkomendasikan sebagai pengecualian untuk kristal
arthritis atau infeksi. Setelah injeksi, pasien harus meminimalkan aktivitas
dan stres pada sendi selama beberapa hari. Pengatasan nyeri awal dapat dilihat
dalam waktu 24-72 jam setelah injeksi, dengan puncak nyeri sekitar 1 minggu
setelah injeksi dan berlangsung hingga 4-8 minggu (Dipiro et al., 2008).
Beberapa plasebo-terkontrol dan studi double-blind
acak telah menunjukkan bahwa kortikosteroid intraartikular lebih unggul
daripada plasebo dalam mengurangi nyeri lutut dan kekakuan yang disebabkan oleh
OA. Ester bercabang dari triamsinolon dan metilprednisolon lebih disukai oleh
praktisi karena berkurangnya kelarutan yang memungkinkan agen untuk tetap
berada di ruang sendi lagi (Dipiro et al.,
2008).
Tidak ada bukti klinis dari penggunaan dosis kortikosteroid yang unggul
untuk digunakan secara intraartikular. Dosis equipotent metilprednisolon asetat dan triamcinolone hexacetonide
yang digunakan adalah dosis terapeutik rata-rata. Untuk injeksi sendi besar
pada orang dewasa adalah 10-20 mg triamsinolon hexacetonide atau 20-40 mg
methylprednisolone acetate. Terapi ini umumnya terbatas pada tiga atau empat
suntikan per tahun karena potensi efek sistemik steroid, dan karena kebutuhan
untuk injeksi lebih sering menunjukkan sedikit respon terhadap terapi (Dipiro et al., 2008).
Efek samping yang berhubungan dengan injeksi kortikosteroid
intraartikular dapat berupa efek lokal atau sistemik. Efek samping sistemik
adalah sama dengan kortikosteroid sistemik lainnya dan dapat termasuk hiperglikemia,
edema, tekanan darah tinggi, dispepsia, dan kadang supresi adrenal apabila
digunakan terus menerus atau suntikan berulang. Efek samping lokal dapat
mencakup infeksi pada sendi yang terkena, osteonekrosis, tendon pecah, dan
atrofi kulit di tempat suntikan. Telah lama diduga bahwa kortikosteroid
intraartikular dapat mempercepat kehilangan tulang rawan, namun potensi risiko
kerusakan tulang rawan dengan injeksi steroid belum dibuktikan. Tingkat
kehilangan tulang rawan cenderung serupa antara kelompok perlakuan dan kontrol.
Terapi kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan pada OA , mengingat kurangnya
terbukti manfaat dan efek samping terkenal dengan penggunaan jangka panjang
(Dipiro et al., 2008).
5. Hyaluronan (Hyaluronic Acid)
Mekanisme kerja dari Hyaluronan tidak sepenuhnya dipahami. Tulang rawan
sehat mengandung asam hyaluronic kental yang merupakan substansi untuk
memfasilitasi pelumasan dan penyerapan shock
dalam berbagai kondisi bantalan beban. Pasien dengan OA menunjukkan penurunan
asam hyaluronic yang mutlak dan fungsional, sehingga diperlukan administrasi
eksogen yang disebut sebagai viscosupplementation.
Pada responden, manfaat administrasi hyaluronan berlangsung selama periode yang
melebihi waktu tinggal di sinovium, menunjukkan bahwa manfaat viscoelasticity luar juga terlibat. Penghambatan
mediator inflamasi dan degradasi tulang rawan, stimulasi dari matriks tulang
rawan, tindakan saraf, dan kemampuan hyaluronan untuk menginduksi sintesis
sendiri dapat menjelaskan mekanisme dari hyaluronan sebagai viscosupplementation (Burns et al., 2008).
Nyeri dan fungsi sendi telah sering dievaluasi dalam uji klinis pemberian
hyaluronan untuk pasien dengan OA. Diperoleh hasil yang bertentangan, yang mana
pada beberapa responden menunjukkan perbaikan dramatis dan sebagian menunjukkan
tidak ada pengaruh positif. Hyaluronan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mengatasi nyeri pasien dibandingkan penggunaan kortikosteroid intraartikular. Administrasi
biasanya terdiri dari suntikan mingguan selama 3 atau 4 minggu dan ditoleransi
dengan baik, meskipun beberapa pasien mungkin melaporkan reaksi lokal. Pasien
harus diberi konseling untuk meminimalkan aktivitas dan stres pada sendi selama
beberapa hari setelah setiap suntikan (Burns et al., 2008).
6. Analgesik Opioid
Dosis rendah analgesik opioid dapat berguna pada pasien yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan acetaminophen, NSAID, injeksi intraartikular, atau
terapi topikal. Agen ini sangat berguna pada pasien yang tidak bisa mengkonsumsi
NSAID karena gagal ginjal, pasien yang telah melakukan pilihan pengobatan lain
dan gagal, serta pasien yang berada dengan risiko tinggi terhadap bedah. Opioid
dosis rendah adalah intervensi awal yang biasanya diberikan dalam kombinasi
dengan asetaminofen. Komponen lepas lambat biasanya menawarkan kontrol nyeri
yang lebih baik sepanjang hari, dan digunakan ketika opioid sederhana tidak
efektif. Jika rasa sakit tak tertahankan dan membatasi aktivitas hidup
sehari-hari, dan pasien memiliki kesehatan cardiopulmonary
yang cukup baik untuk menjalani operasi besar, penggantian sendi lebih baik dibandingkan
ketergantungan pada opioid.
7. Tramadol
Tramadol dengan atau tanpa acetaminophen memiliki efek analgesik
sederhana pada pasien dengan OA jika dibandingkan dengan placebo. Tramadol
adalah juga cukup efektif sebagai terapi tambahan pada pasien yang memakai
bersamaan NSAID atau COX-2 selektif inhibitors. Seperti analgesik opioid, tramadol
dapat berguna bagi pasien yang tidak bisa mengkonsumsi NSAID atau COX-2
inhibitor selektif. Tramadol harus dimulai pada dosis rendah (100 mg/hari) dan
dapat dititrasi sesuai kebutuhan untuk mengontrol rasa sakit dengan dosis 200
mg/hari. Tramadol tersedia dalam tablet kombinasi dengan acetaminophen dan
sebagai tablet lepas lambat. Efek samping opioid seperti seperti mual, muntah,
pusing, sembelit, sakit kepala, dan mengantuk umum terjadi pada penggunaan
tramadol. Hal ini terjadi pada 60-70 % dari pasien yang diobati, dan 40% pasien
menghentikan tramadol karena adanya efek merugikan tersebut. Meskipun frekuensi
efek samping yang tinggi, tingkat keparahan efek samping adalah kurang jika
dibandingkan dengan NSAID, seperti penggunaan tramadol tidak terkait dengan life threatening perdarahan
gastrointestinal atau dengan gagal ginjal (Dipiro et al., 2008).
8. Terapi Topikal
Produk topikal dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan
analgesik oral atau NSAID. Capsaicin yang diisolasi dari cabai dan
diformulasikan dalam bentuk krim telah terbukti dalam empat studi placebo controlled dapat mengatasi nyeri
pada OA bila diterapkan di sendi. Kejadian buruk terkait penggunaan capsaicin
terutama lokal, yaitu pada 1 dari 3 pasien mengalami terbakar, menyengat, dan /
atau eritema yang biasanya reda dengan aplikasi berulang-ulang. Capsaicin
adalah produk nonprescription yang
tersedia dalam bentuk krim, gel, atau lotion
pada konsentrasi mulai dari 0,025 % - 0,075 %. Agar efektif capsaicin harus
digunakan secara teratur, dan diperlukan sekitar 2 minggu untuk menimbulkan
efek. Meskipun penggunaannya dianjurkan empat kali sehari, aplikasi dua kali
sehari dapat meningkatkan kepatuhan jangka panjang dan tetap memberikan
pengatasan rasa sakit pasien (Dipiro et
al., 2008).
Diklofenak topikal dalam sulfoksida dimetil (DMSO) sebagai pembawa
(Pennsaid) adalah pengobatan yang aman dan efektif untuk nyeri yang berhubungan
dengan OA. Pennsaid tersedia di Kanada dan negara-negara Eropa lainnya dan saat
ini sedang ditinjau di FDA. Mekanisme kerja NSAID topikal dianggap melalui
penghambatan lokal enzim COX-2. Penggunaan topikal dapat meminimalkan paparan
sistemik dan dapat menurunkan risiko efek samping yang serius terkait dengan
penggunaan NSAID oral (Dipiro et al.,
2008).
D. Novel Therapies and Disease-Modifying Drugs
Modifkasi obat-penyakit tidak ditargetkan pada nyeri tetapi pada mencegah,
memperlambat, atau membalikkan kerusakan pada tulang rawan artikular. Sejauh
ini OA adalah penyakit progresif yang hanya bisa diobati gejalanya. Karena itu dokter
sangat tertarik akan kemampuan kondroitin dan / atau glukosamin untuk
memperlambat kerusakan, meskipun temuan tersebut memerlukan studi lebih lanjut.
Pendekatan baru untuk memperlambat perkembangan OA sedang diselidiki, tetapi
kebanyakan produk telah diuji pada model binatang, dan data manusia yang
tersedia terbatas. Satu pendekatan yang melibatkan agen farmakologis yang bisa
meniru inhibitor jaringan metalloproteinase sehingga berpotensi menurunkan
kerusakan tulang rawan (Dipiro et al.,
2008).
Beberapa penelitian telah menyelidiki penggunaan tetrasiklin atau
doksisiklin, yang tampaknya dapat menghambat metalloproteinases. Pada OA lutut,
doxycycline telah terlihat untuk menunda hilangnya tulang rawan artikular (penyempitan
ruang sendi) pada manusia bila dibandingkan dengan placebo. Agen lainnya yang
bertindak sebagai inhibitor ekspresi gen metalloproteinase, juga sedang
dipertimbangkan dalam mengembangkan obat untuk menghambat kerusakan sendi pada
OA. Agen lain sedang dipelajari adalah diacerein, penghambat interleukin-1β. Dalam
meta - analisis termasuk total 2.069 pasien OA, agen ini dapat menyebabkan penurunan
nyeri sampai batas yang sederhana namun secara statistik signifikan dibandingkan
dengan plasebo. Dalam studi jangka panjang, diacerein tampaknya menunjukkan
perlambatan perkembangan penyempitan ruang sendi yang signifikan pada pinggul,
tetapi tidak pada lutut (Dipiro et al.,
2008).
6. Monitoring dan Evaluasi Outcome
Therapeutic
Monitoring farmakoterapi pada
pasien OA sangat spesifik, terfokus pada derajat dan tingkat perluasan dari
persendiaan yang dilibatkan, umur pasien, obat-obat yang diberikan secara
bersamaan, pemilihan terapi obat dan non obat yang dipilih. Untuk memonitoring
respon sakit pasien dapat dinilai dari Visual
Analog Scale, daerah pergerakan sendi yang terlibat. Hal ini dapat dilihat
gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi sendi yang terlibat. Keparahan OA
dapat dihitung dari kekuatan cengkraman dan waktu yang diperlukan diperlukan
saat berjalan 50 kaki. Hal-hal lain yang perlu dimonitoring adalah penggunaan
analgesik dan NSAIDs. Salah satu cara lain untuk membantu monitoring OA adalah,
penilaian kualitas hidup lewat pemberian kuisioner khusus arthritis.
Monitoring efek samping obat
yang diberikan dapat dilakukan secara langsung dan hasilnya sangat baik.
Monitoring secara langsung melalui observasi ataupun interview akan dapat
mengetahui masalah-masalah yang dialami pasien selama pengobatan dilakukan.
Contohnya, pengobatan dengan menggunakan beberapa obat NSAIDs secara bersamaan.
Dari monitoring dapat diketahui efek samping apa yang terjadi ada pasien
seperti apakah ada rasa sakit pada abdominal, sakit kepala, mual atau apakah
ada perubahan warna feses atau tidak. Untuk memonitoring apakah ada toksisitas
pada ginjal, hati, saluran GI dan sumsum tulang dapat dilakukan dengan
determinasi serum kreatinin, profil hematologi, dan level serum transaminase.
Untuk pasien yang menerima kortikosteroid
intraartikular, perbaikan harus dimulai dengan 2 sampai 3 hari dan terakhir 4
sampai 8 minggu. Pasien harus dianjurkan tentang kemungkinan reaksi di tempat
suntikan, serta efek sistemik yang mungkin terjadi, terutama bagi mereka dengan
hipertensi atau diabetes, karena ada potensi peningkatan tekanan darah atau
glukosa darah (lebih mungkin untuk dosis yang lebih tinggi diberikan lebih
sering). Untuk pasien yang menerima asam hialuronat intraartikular, perbaikan
dapat dimulai dalam waktu 3 sampai 4 minggu dan bisa bertahan beberapa bulan,
dan pasien harus disarankan tentang kemungkinan reaksi injeksi-situs dan reaksi
alergi. Untuk pasien yang menerima opioid atau tramadol, bantuan dari rasa
sakit diharapkan dapat terjadi dengan cepat. Pasien, terutama jika lemah atau
tua, harus dipantau secara hati-hati dan memperingatkan tentang sedasi,
disforia, mual, risiko jatuh, sembelit, dan pengembangan toleransi (Dipiro, 2008). Dilakuakn evaluasi serum kreatinin, hitung darah lengkap, dan serum tranasaminases
pada awal terapi dan setiap 6 -12 bulan pada pasien yang diobati dengan NSAID
atau acetaminophen serta memantau
interaksi obat, termasuk alkohol, pada setiap kunjungan. (Burns et al., 2008)
0 komentar:
Post a Comment