Rheumatologi: Osteoathritis

1. Definisi
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit yang berkembang dengan lambat, biaa mempengaruhi terutama sendi diatrodial yang menahan beban dari aksial perifer dan rangka aksial. Penyakit ini ditandai dengan kerusakan dan hilangnya kartilago artikular yang berakibat pada pembentukan osteofit, rasa sakit, pergerakan yang terbatas, deforminitas, dan cacat progresif. Inflamasi dapat terjadi atau tidak pada sendi yang terkena (Wells et al., 2009).

2. Etiologi
Terdapat beberapa teori tentang etiologipenyakit OA, akan tetapi masih tetap menjadi perdebatan. Beberapa faktor risiko yang berperan dalam kejadian OA diantaranya adalah kadar estrogen rendah, kadar insulin-like growth factor 1 (IGF-1) rendah, usia, obesitas, jenis kelamin wanita, ras, genetik, aktifitas fisik yang melibatkan sendi yang bersangkutan, trauma, tindakan bedah orthopedik seperti menisektomi, kepadatan massa tulang, merokok, endothelial cell stimulating factor dan diabetes mellitus. Usia dan jenis kelamin wanita merupakan faktor risiko utama terjadinya OA, terutama pada lutut. The First National Health and Nutritional Examination Survey (HANES I) di Inggris memperlihatkan, bahwa obesitas, ras, dan pekerjaan mempunyai korelasi terhadap terjadinya OA lutut.
Framingham dan kawan-kawan secara tidak sengaja menemukan efek protektif merokok terhadap kejadian OA lutut. Temuan tersebut ternyata tetap konsisten meskipun telah dilakukan penyesuaian terhadap usia, jenis kelamin, berat badan, derajat keparahan penyakit, riwayat traumaatau operasi lutut, olah raga, tingkat aktifitas fisik, konsumsi alkohol ataupun kopi. Sedangkan penelitian Cooper C memperlihatkan, bahwa aktifitas fisik yang berulang-ulang atau beberapa jenis pekerjaan tertentu akan menimbulkan proses OA pada lutut.
Secara garis besar terdapat dua hal yang berperan dalam proses patogenesis OA, yaitu biomechanical dan biochemical insults. Kedua proses tersebut mengakibatkan terpicunya berbagai proses reaksi enzimatik seperti dikeluarkannya enzim proteolitik atau kolagenolitik oleh khondrosit yang dapat menghancurkan matriks rawan sendi. Dengan perkataan lain, etiopatogenesis OA masih belum jelas apakah karena keausan sendi akibat proses penuaan ataupun proses degeneratif, atau peran faktor lain seperti proses inflamasi kronik.
Meski berlainan proses kejadian OA pada sendi penumpu berat badan atau bukan, nyatanya ada kesamaan akibat yang ditimbulkannya, yakni kerusakan rawan sendi. Dasar utama konsep degenerasi pada patogenesis OA adalah proses wear and tear, yaitu kerusakan sendi yang diikuti perbaikan sebagai respons tulang subkhondral yang tampak berupa pembentukan osteofit atau spur. Konsep ini umumnya dikaitkan dengan faktor risiko usia dan beban biomekanik pada sendi tanpa mengabaikan proses inflamasi yang terjadi secara bersamaan. Teoritis, proses perbaikan tersebut dapat dideteksi melalui pengukuran 2,6-dimethyldifuro-8-pyrone(DDP) yang merupakan petanda mutakhir degradasi rawan sendi. Selain itu, tampak peningkatan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) yang berperan pada metabolisme khondrosit. Sedangkan efusi yang terjadi pada beberapa kasus OA berkaitan dengan peran sinovium yang berfungsi dalam sintesis cairan sendi (Hansen and Elliot,2005).
Perbedaan lain yang ditunjukkan konsep degenerasi adalah dalam hal mengatasi nyeri pada OA. Baik terapi non-farmakologik seperti terapi fisik dengan pemanasan atau terapi latihan, maupun pemberian obat-obatan (analgetik atau NSAIDs) secara sendiri-sendiri ataupun kombinasi seringkali sudah mencukupi untuk mengatasi rasa nyeri. Sebaliknya, apabila proses inflamasi menjadi dasar patogenesis OA, tentu respons terhadap analgetik seperti paracetamol tidak akan sebaik NSAIDs. Nyatanya meski tanda-tanda inflamasi jelas terlihat, tetapi tidak semua NSAIDs memberikan respons yang baik dalam mengatasi rasa nyeri pada OA tersebut (DepKes RI, 2006).
Di sisi lain, konsep inflamasi pada patogenesis OA didasari oleh banyaknya bukti respons inflamatif baik akut ataupun kronik. Salah satu petanda respons inflamasi akut adalah peningkatan C-reactive protein (CRP). Peningkatan jumlah lekosit dalam cairan sendi, kadar protein rendah dan buruknya viskositas, serta adanya sebukan sel radang pada sinovium merupakan bukti kuat yang menunjang teori inflamasi pada patogenesis OA. Selanjutnya, inflamasi akan memicu rangkaian enzimatik seperti peningkatan enzim metaloproteinase (MMP), kolagenase yang diinduksi interleukin-1 (IL-1) yang kelak mengakibatkan kerusakan rawan sendi. Produksi IL-1 dipicu oleh tumor necrotizing factor-α (TNF-α) yang dapat merusak matriks dan menghambat sintesis matriks (Hansen and Elliot,2005).
Beberapa tipe OA antara lain :
- OA inflamatif; mempunyai manifestasi inflamasi yang sangat menonjol, seringkali dijumpai efusi sendi.
- OA nodal; yaitu suatu bentuk OA yang disertai nodus-nodus.
- DISH (diffuse idiopathic skeletal hyperosthosis); varians dari OA.
- OA sekunder; yakni OA yang terkait penyakit lainny
 (DepKes RI, 2006).

3. Patofisiologi
OA diklasifikasikan menjadi dua kelas utama dalam etiologi. OA primer (idiopatik) merupakan jenis yang paling umum dan tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi. Subkelas dari OA primer adalah OA yang melibatkan satu atau dua daerah (lokal), dan OA yang mempengaruhi tiga atau lebih daerah (umum). Osteoarthritis erosif digunakan untuk menggambarkan adanya erosi dan proliferasi yang ditandai pada sendi interphalangeal proksimal dan distal dari tangan. OA sekunder terkait dengan penyebab yang diketahui seperti arthritis atau inflamasi arthritis lainnya, trauma, metabolik atau gangguan endokrin, dan faktor bawaan (Dipiro et al., 2008).

Kartilago Normal
Kartilago (tulang rawan) artikular merupakan zat yang unik dengan sifat viskoelastik yang memberikan pelumasan pada gerakan dan dukungan beban. Pada sendi sinovial, kartilago artikular ditemukan antara rongga sinovial di satu sisi, dan lapisan sempit jaringan terkalsifikasi dengan tulang subkondral atasnya pada sisi lain (Gambar 3). Lapisan kartilago yang sempit, dengan medial femoral tulang rawan artikular yang kira-kira memiliki tebal 2 sampai 3 mm pada manusia. Meskipun demikian, kartilago artikular dapat menahan beban sendi. Kartilago artikular memungkinkan gerakan disemua tempat, mendistribusikan beban di jaringan sendi untuk mencegah kerusakan, dan menstabilkan sendi. Kartilago terdiri dari matriks kompleks hidrofilik ekstraseluler (Dipiro et al., 2008).
Kartilago mengandung sekitar 75% sampai85% air, 2% sampai 5% kondrosit (satu-satunya sel dalam kartilago), dan mengandung protein kolagen, jumlah yang lebih kecil dari beberapa protein lain, proteoglikan, dan molekul panjang asam hyaluronat. Proteoglikan menggabungkan molekul asam hyaluronat yang panjang untuk membentuk kompleks yang besar, yang terletak dalam anyaman serat kolagen. Katilago artikular dewasa adalah avaskular dengan kondrosit yang dipelihara oleh cairan sinovial. Gerakan dan beban siklik pembongkaran sendi menyebabkan nutrisi dapat dialirkan ke kartilago, sedangkan imobilisasi mengurangi persediaan nutrisi (Dipiro et al., 2008).

Gambar 3. Karakteristik OA pada Sendi Diatrodial


Kartilago Osteoathritis (OA)
Pada tingkat molekuler, patofisiologi OA melibatkan interaksi puluhan bahkan ratusan molekul ekstraseluler dan intraseluler termasuk regulasi kondrosit, degradasi proteolitik komponen kartilago, dan interaksi antara kartilago artikular, dasar tulang subkondral dan sendi sinovium. OA paling sering dimulai dengan kerusakan pada kartilago artikular karena trauma atau cedera lain, beban sendi berlebih pada obesitas atau alasan lain, atau ketidakstabilan atau cedera sendi yang menyebabkan beban abnormal (Dipiro et al., 2008).
Kerusakan kartilago meningkatkan metabolisme aktivitas kondrosit yang menyebabkan peningkatan sintesis konstituen matriks dengan pembengkakan kartilago. Kerusakan ini tidak dapat mengembalikan kartilago menjadi normal tetapi merupakan langkah pertama dalam proses yang menyebabkan hilangnya kartilago lebih lanjut. etelah fase hipertrofi, terjadi peningkatan sintesis matriks metaloproteinase (MMPs) 1, 3, 13, dan 28 yang menyebabkan kerusakan kolagen untuk terjadi lebih cepat dari sintesisnya. Kondrosit berkontribusi terhadap hilangnya kolagen dengan mengeluarkan MMPs dalam menanggapi mediator inflamasi yang hadir dalam OA (interleukin-1 dan tumor necrosis factor-α). Kondrosit juga mengalami apoptosis, kemungkinan sebagai akibat dari induksi sintase intrit oksida dan produksi metabolit beracun. Hal ini membuat lebih sedikit kondrosit untuk mensintesis komponen matriks. Kondrosit OA juga kurang responsif terhadap rangsangan anabolik perubahan growth factor-β. Hasil dari proses ini adalah kerusakan kartilago secara progresifdan kehilangan kondrosit. Tulang subkondral yang berdekatan dengan kartilago artikular juga mengalami pergantian tulang yang lebih cepat dengan peningkatan aktivitas osteoklast dan osteoblast. Terdapat hubungan antara pelepasan peptida vasoaktif dan matriks metalloproteinase, neovaskularisasi, dan peningkatan permeabilitas kartilago yang berdekatan. Peristiwa ini selanjutnya menakibatkan degradasi kartilago pada akhirnya hilangnya kartilago berakibat pada rasa sakit dan deformitas sendi (Wells et al., 2009).
Kehilangan banyak kartilago menyebabkan penyempitan ruang sendi dan menyebabkan nyeri serta cacat sendi. Sisa tulang rawan melembutkan dan mengembangkan fibrilasi, kehilangan tulang rawan lebih lanjut, dan paparan tulang yang mendasarinya. Kartilago akhirnya terkikis sepenuhnya, meninggalkan tulang subkondral gundul yang menjadi padat, halus, dan berkilau (eburnation). Sedikit bersifat lebih rapuh, hasil tulang kaku dengan penurunan kemampuan menahan beban dan pengembangan sclerosis dan microfractures. Formasi tulang baru (osteofit) yang timbul dari faktor-faktor lokal dan humoral muncul pada tepi sendi, jauh dari area dekstruksi kartilago. Perubahan inflamasi lokal terjadi pada kapsul sendi dan sinovium.
Sinovium diinfiltrasi dengan sel T, dan kompleks imun muncul. Kristal atau pecahan kartilago pada cairan sinovial dapat menyebabkan peradangan. Terdapat juga peningkatan kadar interleukin-1, prostaglandin E2, tumor necrosis factor-α, dan oksida nitrat dalam cairan sinovial. Inflamasi mengakibatkan efusi dan penebalan sinovial. Rasa sakit dari OA muncul dari aktivasi ujung saraf nociceptive dalam sendi oleh iritasi mekanik dan kimia. Nyeri OA dapat terjadi akibat distensi dari kapsul sinovial oleh peningkatan cairan sendi; microfracture; iritasi periosteal, atau kerusakan ligamen, sinovium, atau meniskus (Wells et al., 2009). .

4.    Manifestasi Klinik
·      Prevalensi dan keparahan OA meningkat dengan usia. Potensi faktor risiko termasuk obesitas, penggunaan berulang melalui kegiatan bekerja atau aktivitas di waktu luang, trauma persendeian dan hereditas.
·   Gambaran klinis tergantung pada durasi dan keparahan penyakit dan jumlah sendi yang terkena. Gejala dominan adalah rasa sakit yang dalam dan telokalisasi berhubungan dengan sendi yang terkena. Pada awal OA, nyeri menyertai aktivitas persendian dan berkurang dengan istirahat. Selanjutnya nyeri terjadi walaupun dengan aktifitas minimal atau dalam keadaan istirahat.
·    Sendi yang paling sering terkena adalah sendi iterfalangeal distal dan proksimal (DIP dan PIP) pada tangan, sendi carpometacarpal (CMC) pertama, lutut, pinggul, leher dan lumbar tulang belakang, dan sendi metatarsophalangeal (MTO) pertama pada jari kaki.
·  Selain rasa sakit, keterbatasan gerak, kekakuan, krepitus, dan deformitas (cacat) mungkin terjadi. Pasien dengan lower extremity involvemen dapat melaporkan suatu perasaan kelemahan atau ketidakstabilan.
·  Setelah timbul, kekakuan sendi biasanya berlangsung kurang dari 30 menit dan sembuh dengan bergerak. Pembesaran sendi berkaitan dengan proliferasi tulang atau penebalan sinovium dan kapsul sendi. Adanya rasa hangat, kemerahan, dan sendi empuk mungkin mengesankanterjadi inflamasi sinovitis.
·    Deformitas sendi dapat hadir pada tahap selanjutnya sebagai akibat dari subluksasi, runtuhnya tulang subkondral, pembentukan kista tulang, atau pertumbuhan tulang berlebih.
·  Pemeriksaan fisik terhdap sendi yang terkena ditandai dengan tenderness, krepitus, dan mungkin pembesaran sendi. Nodus Heberden dan Bouchard secara berturut-turut merupakan pembesaran tulang (osteofit) dari sendi DIP dan PIP. 
(Wells et al., 2009).

5. Penatalaksanaan Terapi
A. Hasil yang Diharapkan (Goal Therapy)
Pengobatan adalah spesifik secara individual dan harus mempertimbangkan riwayat medis pasien, pemeriksaan fisik, temuan radiografi, distribusi dan keparahan persendian yang terlibat, dan respon terhadap pengobatan sebelumnya. Kondisi penyakit penyerta, pengobatan yang sedang dijalani pasien saat ini, dan alergi diintegrasikan ke dalam suatu pendekatan pengobatan holistik. Tujuan terapi meliputi : 
·         Edukasi kepada pasien dan perawat / keluarga pasien
·         Menghilangkan rasa sakit
·         Memelihara atau memulihkan mobilitas
·         Meminimalkan gangguan fungsional
·         Memelihara integritas persendian
·         Meningkatkan kualitas hidup pasien 
           (Burns et al., 2008)

B. Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologi terdiri dari tiga pendekatan yaitu pendidikan, modifikasi gaya hidup, dan terapi fisik. Program pendidikan atau edukasi merupakan suatu pendekatan sistematis yang dirancang untuk meningkatkan perilaku kesehatan dan status kesehatan pasien, sehingga dapat memperlambat perkembangan osteoartritis (OA). Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan kepercayaan diri dalam menghadapi gejala yang berkembang sehubungan dengan penyesuaian terhadap aktivitas sehari-hari. Program yang efektif menghasilkan perubahan perilaku yang positif, penurunan nyeri dan cacat, serta peningkatan fungsi. Selain hasil fisik, hasil psikologis seperti depresi, self-efficacy, dan kepuasan hidup secara positif juga dipengaruhi (Burns et al., 2008).
Modifikasi gaya hidup harus dilakukan pada semua pasien dengan risiko OA dan pada pasien yang menderita OA. Latihan aerobik dan program pelatihan kekuatan dapat meningkatkan kapasitas fungsional pada orang dewasa dengan OA. Peregangan dan latihan penguatan harus ditargetkan bagi sendi yang rentan atau telah menunjukkan gejala OA. Sebagai contoh, kekuatan quadriceps yang tidak memadai dapat meningkatkan kerentanan sendi lutut untuk terkena OA. Sehingga penguatan paha dapat ditargetkan untuk memperkuat sendi lutut dan meminimalkan risiko. Latihan isometrik dilakukan tiga sampai empat kali seminggu untuk meningkatkan fungsi fisik dan mengurangi kecacatan, sakit, dan penggunaan analgesik. Kendala terbesar untuk penerimaan terapi latihan OA secara luas adalah kesalahpahaman bahwa peningkatan aktivitas akan memperburuk gejala sendi (Burns et al., 2008).
The American Geriatrics Society mengeluarkan pedoman pelaksanaan latihan pada pasien OA. Secara umum, disarankan untuk merekomendasikan latihan low-impact yang dilakukan secara rutin. Asosiasi obesitas baik terhadap onset dan progresi OA membuat pengendalian berat badan merupakan strategi pengobatan yang penting pada pasien OA.Wanita yang mengalami obesitas dan telah kehilangan rata-rata 5 kg berat badannya dapat menurunkan risiko OA lutut lebih dari 50 %. Pengendalian berat badan harus diupayakan melalui modifikasi diet dan peningkatan aktivitas fisik (Burns et al., 2008).
Penerapan perlakuan panas atau dingin untuk sendi yang terlibat dapat meningkatkan jangkauan gerak, mengurangi rasa sakit, dan penurunan kejang otot. Aplikasi praktis terapi panas meliputi mandi dengan air hangat atau pembasahan air hangat. Bantalan pemanas harus digunakan dengan hati-hati terutama pada orang tua, dan pasien harus diingatkan akan potensi terjadinya luka bakar jika digunakan secara tidak tepat. Rujukan ke ahli terapi fisik dapat membantu, terutama pada pasien dengan cacat fungsional (Burns et al., 2008).
Terapi fisik disesuaikan dengan kondisi pasien yang dapat mencakup penilaian terhadap kekuatan otot, stabilitas sendi, dan mobilitas ; penggunaan panas (terutama sebelum episode peningkatan aktivitas fisik) ; rejimen latihan terstruktur, dan implementasi dari perangkat bantu, seperti tongkat, kruk, dan pejalan kaki. Terapis okupasi harus menjamin perlindungan sendi dan fungsi secara optimal, konservasi energi, dan penggunaan splints dan alat-alat bantu lainnya (Burns et al., 2008).

C. Terapi Farmakologi
Terapi obat pada OA ditargetkan untuk menghilangkan rasa sakit. OA umumnya terlihat pada orang tua yang memiliki kondisi medis lainnya, dan pengobatan OA sering dilakukan dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan pendekatan konservatif untuk terapi obat yang berfokus pada kebutuhan setiap pasien. Pasien dengan nyeri ringan atau sedang, analgesik topikal atau acetaminophen dapat digunakan. Jika tindakan ini gagal, atau jika ada peradangan, NSAID dapat dijadikan alternatif pengobatan. Selan itu ketika terapi obat dimulai, terapi non farmakologi yang tepat harus tetap dilanjutkan dan diperkuat. Modalitas non farmakologi adalah landasan manajemen OA dan dapat memberikan banyak bantuan sebagai terapi obat (Dipiro et al., 2008). Algoritma terapi osteoartritis (OA) ditampilkan pada gambar 1, dan dosis dari tiap obat ditambilkan pada tabel 1.

 Gambar 4. Algoritma Terapi pada OA (Dipiro et al., 2008)
           
 Tabel 1. Dosis Obat untuk Terapi OA (Burns et al., 2008)

1.    Acetaminophen
The American College of Rheumatology merekomendasikan acetaminophen sebagai terapi obat lini pertama untuk manajemen nyeri dalam OA karena relatif aman, efektif, dan lebih murah dibandingkan dengan NSAIDs. Aktivitas analgesik acetaminophen telah dilaporkan mirip dengan aktivitas yang dihasilkan oleh aspirin , naproxen , ibuprofen, dan NSAID lainnya , meskipun banyak pasien menunjukkan respon yang lebih baik terhadap penggunaan NSAIDs (Dipiro et al., 2008).
·      Farmakologi dan Mekanisme Aksi
Farmakologi dan mekanisme aksi dari Acetaminophen adalah berhubungan dengan aktivitas terhadap sistem saraf pusat dengan menghambat sintesis prostaglandin, agen yang meningkatkan sensasi rasa sakit. Acetaminophen mencegah sintesis prostaglandin dengan menghalangi aksi siklooksigenase pusat. Acetaminophen diserap dengan baik setelah pemberian oral, dengan bioavailabilitas 60 % sampai 98 %. Acetaminophen mencapai konsentrasi puncak dalam waktu 1 sampai 2 jam, diinaktivasi dalam hati melalui konjugasi dengan sulfat atau glukuronida, dan metabolitnya yang diekskresi melalui ginjal (Dipiro et al., 2008).
·      Efikasi
Efikasi perbandingan aktivitas analgesik Acetaminophen dalam mengatasi nyeri OA ringan sampai moderat telah ditunjukkan pada pemberian acetaminophen dengan dosis 2,6-4 g/hari, aspirin 650 mg empat kali sehari, dan NSAID, termasuk ibuprofen pada 1.200 atau 2.400 mg setiap hari, dan naproxen 750 mg/hari. Meskipun penelitian telah menunjukkan efikasi yang sebanding untuk acetaminophen dan NSAID , beberapa penelitian telah melaporkan bahwa pasien mengalami kontrol nyeri yang lebih baik dengan NSAID dibandingkan dengan acetaminophen. Pasien dengan OA telah terbukti lebih memilih NSAID dibandingkan dengan asetaminofen dalam uji coba klinis, tapi ketika ditanya dengan menggunakan kuesioner yang mencakup pertimbangan efek samping, NSAID yang kurang disukai oleh pasien (Dipiro et al., 2008).
·      Efek Samping
Meskipun acetaminophen adalah salah satu analgesik yang paling aman, penggunaannya membawa beberapa risiko, terutama hepatotoksisitas dan toksisitas tehadap ginjal pada penggunaan jangka panjang. Acetaminophen harus digunakan hati-hati pada pasien dengan penyakit hati atau pada mereka yang menyalahgunakan alkohol. Gagal hati akut telah dilaporkan pada pasien yang memakai kurang dari 4 g/hari. Faktor risiko yang paling umum untuk kegagalan hati pada pasien ini adalah asupan alkohol kronis. FDA telah merekomendasikan bahwa pengguna alkohol kronis (tiga atau lebih minuman sehari-hari) harus diperingatkan mengenai peningkatan risiko kerusakan hati atau perdarahan GI dengan acetaminophen.
·      Interaksi Obat-Obat dan Obat-Makanan
Interaksi dengan asetaminofen dapat terjadi, misalnya isoniazid dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas. Konsumsi acetaminophen dosis maksimal dalam jangka panjang dapat mengintensifkan efek antikoagulan pada pasien yang mengkonsumsi warfarin, orang sehingga diperlukan pemantauan lebih intensif pada pasien tersebut. Meskipun makanan menurunkan setengah dari konsentrasi serum maksimum acetaminophen, namun efektivitas terapi secara keseluruhan tidak berubah. Dosis dan administrasi acetaminophen ketika digunakan untuk OA kronis harus diberikan dengan cara yang dijadwalkan. Konsumsi ini dapat dilakukan dengan atau tanpa makanan. Acetaminophen dapat dikonsumsi dengan dosis 325-650 mg setiap 4 sampai 6 jam, tetapi dosis total tidak boleh melebihi 4 g sehari. Jika acetaminophen digunakan dalam pengaturan asupan alkohol kronis atau pada mereka dengan penyakit tertentu, durasi harus dibatasi dan dosis tidak boleh melebihi 2 g sehari (Dipiro et al., 2008).

2.    NSAID
The American College of Rheumatology merekomendasikan pertimbangan NSAID untuk pasien OA di antaranya apabila acetaminophen tidak efektif. NSAID memiliki sifat analgesik pada dosis yang lebih rendah dan efek antiinflamasi pada dosis yang lebih tinggi.
·      Farmakologi dan Mekanisme Aksi
Blokade sintesis prostaglandin dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) diperkirakan berkaitan dengan kemampuan NSAID untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan. Karena NSAID nonspesifik dan COX-2 inhibitor selektif memiliki khasiat yang sama, pemilihan obat sering tergantung pada toksisitas dan biaya. Enzim COX-1 berpartisipasi dalam menjaga homeostasis atau fungsi fisiologis rutin seperti generasi prostaglandin gastroprotektif untuk mempromosikan aliran darah lambung dan generasi bikarbonat. COX-1 diekspresikan secara konstitutif tidak hanya di mukosa lambung, tetapi juga di sel-sel endotel vaskular, trombosit, dan tubulus pengumpul di ginjal, sehingga prostaglandin COX-1 yang dihasilkan dan tromboksan juga berpartisipasi dalam hemostasis dan aliran darah ginjal. Sebaliknya, enzim COX-2 tidak banyak ditemukan dalam sebagian jaringan tubuh, namun dengan cepat diinduksi oleh mediator inflamasi, cedera lokal, dan sitokin, termasuk interleukin, interferon, dan tumor necrosis factor. Prostaglandin dihasilkan oleh COX-2 dan berkontribusi terhadap sensasi nyeri pada OA dan kondisi lainnya. Prostaglandin dibuat oleh enzim COX-2, termasuk prostasiklin (prostaglandin I2) juga terlibat dalam beberapa proses fisiologis, termasuk fungsi ginjal, perbaikan jaringan, reproduksi, dan pembangunan (Dipiro et al., 2008).
NSAID nonspesifik dapat memblokir kedua enzim baik COX-1 dan COX-2. Berdasarkan pandangan terhadap peran enzim COX, blokade COX-1 yang terjadi dengan pemberian NSAID nonspesifik berpotensi menghasilkan hal yang tidak diinginkan dan dapat menyebabkan ulkus GI dan peningkatan risiko perdarahan dengan menghambat agregasi platelet. Blokade spesifik enzim COX-2 bisa mengurangi prostaglandin, peradangan, dan nyeri, tanpa menghalangi efek COX-1. Kualitas yang diinginkan inilah yang menyebabkan berkembangnya agen selektif COX-2 tertentu (coxib) (Dipiro et al., 2008).
Agen ini manjur dalam menghilangkan OA dan nyeri lainnya dan beberapa telah meningkatkan keselamatan proteksi terhadap GI. Celecoxib dan rofecoxib adalah dua agen COX-2 selektif pertama yang dipasarkan dan telah banyak digunakan untuk menghilangkan rasa sakit pada OA dan kondisi lainnya. Namun kini diketahui bahwa enzim COX-2 dapat memainkan peran fisiologis penting dalam hemostasis normal. Enzim COX-2 ditemukan dalam sel-sel endotel pembuluh darah , menyebabkan produksi prostaglandin I2 (prostasiklin) yang memiliki efek antitrombotik. Beberapa peneliti mendalilkan bahwa blokade COX-2 saja bisa mengganggu keseimbangan hemostatik (Dipiro et al., 2008).
·      Farmakokinetik
Berbagai NSAID menunjukkan beberapa kesamaan profil farmakokinetik, termasuk bioavailabilitas oral yang tinggi, ikatan protein yang tinggi, dan penyerapan sebagai obat aktif (kecuali untuk sulindac dan nabumetone, yang membutuhkan konversi / metabolisme hati untuk aktivitas tersebut). Perbedaan yang paling penting dalam NSAID adalah serum waktu paruh berkisar dari 1 jam untuk tolmetin sampai 50 jam untuk piroksikam, sehingga mempengaruhi frekuensi dosis dan kekuatan serta kepatuhan terapi (Dipiro et al., 2008).
Eliminasi NSAID sangat tergantung pada inaktivasi hati, dengan sebagian kecil dari obat aktif yang diekskresi melalui ginjal. NSAID menembus cairan sendi, mencapai sekitar 60 % dari level darah. NSAID sering diresepkan untuk pasien OA yang setelah pengobatan dengan acetaminophen terbukti tidak efektif atau untuk pasien dengan inflamasi OA. Semua NSAID dan aspirin memiliki efek analgesik dan antiinflamasi yang sama, namun agen ini hanya sedikit lebih efektif daripada acetaminophen. Dalam mengevaluasi keberhasilan dalam studi OA, titik akhir yang umum digunakan termasuk nyeri pada skala analog visual (0 hingga 100), dan penilaian global pasien terhadap aktivitas penyakit dan status fungsional, dinilai menggunakan indeks kuisioner Ontario Barat dan Universitas McMaster. Karena perbedaan antara desain studi dan populasi pasien, perbandingan antara khasiat pengobatan sebaiknya dilakukan dalam studi yang sama (Dipiro et al., 2008).
Sebuah tinjauan sistematis studi NSAID untuk OA tidak menemukan bukti untuk mendukung peringkat definitif dari efikasi NSAID. Namun respon pasien terhadap NSAID tidak berbeda antara individual. Oleh karena itu peresepan sering kali didasarkan pada pengalaman pribadi dalam pemilihan NSAID. Untuk menilai keberhasilan dalam masing-masing pasien, dibutuhkan percobaan yang memadai dalam hal waktu (2-3 minggu) dan dosis yang dibutuhkan. Jika percobaan pertama gagal, NSAID dengan kelas sama atau kelas kimia lain dapat dicoba sampai suatu agen efektif ditemukan. Kombinasi dua NSAID dapat meningkatkan efek samping tanpa memberikan manfaat tambahan dalam terapi (Dipiro et al., 2008).
·      Efek Samping
Efek samping yang paling umum dari NSAID melibatkan gangguan pada saluran pencernaan, dan berkontribusi terhadap banyaknya kegagalan pengobatan. Keluhan ringan seperti mual, dispepsia, anoreksia, nyeri perut, perut kembung, dan diare, mempengaruhi 10-60 % dari pasien. Untuk meminimalkan gejala ini, NSAID harus diberikan bersamaan dengan makanan atau susu, kecuali untuk produk salut enterik yang tidak boleh diberikan dengan susu atau antasid (Dipiro et al., 2008).
Semua NSAID memiliki potensi untuk menyebabkan pendarahan GI. NSAID non ion memasuki sel mukosa lambung, melepaskan ion hidrogen dan terkonsentrasi (ion terperangkap) di dalam sel, dengan kematian atau kerusakan sel. Cedera mukosa lambung juga bisa terjadi akibat penghambatan efek gastroprotektif dari prostaglandin oleh NSAID. Situs yang paling umum dari cedera GI adalah mukosa lambung dan duodenum. Insiden ulkus lambung dengan penggunaan NSAID adalah sekitar 11-13 %, dan untuk ulkus duodenum adalah 7-10 % (Dipiro et al., 2008).
Bagian penting dari keputusan dokter mengenai penggunaan awal NSAID untuk terapi pasien OA adalah risiko pasien terhadap toksisitas GI. Peningkatan risiko GI terlihat bagi mereka dengan riwayat ulkus rumit (risiko relatif [RR] 13,5), penggunaan beberapa NSAID, termasuk aspirin (RR=9), penggunaan dosis tinggi NSAID (RR=7), penggunaan antikoagulan (RR=6,4), usia yang lebih tua dari 70 tahun (RR=5,6), dan penggunaan bersama dengan kortikosteroid (RR=2,2) (Dipiro et al., 2008).
Obat-obatan yang tersedia untuk pengobatan atau pencegahan ulcer pada pasien yang berisiko tinggi salah satunya adalah dengan misoprostol. Misoprostol melindungi terhadap kedua efek samping NSAID baik ulkus lambung dan duodenum, dan yang lebih penting adalah bagi pasen yang terkait komplikasi GI yang serius (perforasi, obstruksi lambung, dan perdarahan). Namun misoprostol sering menyebabkan diare dan kram perut. Karena sifatnya sebagai abortifacient , misoprostol merupakan kontraindikasi pada kehamilan dan pada wanita usia subur yang tidak mempertahankan kontrasepsi yang memadai (Dipiro et al., 2008).
Agen lain telah dievaluasi dalam upaya untuk mencegah NSAID yang menginduksi gastropati. Golongan Proton Pump Inhibitor (PPI) tampaknya efektif, meskipun sukralfat atau H2 antagonis tidak terbukti menjadi pelindung. Dalam meta-analisis terbaru yang mencakup 156 penelitian, misoprostol, COX-2 selektif NSAIDs, dan PPI dinilai dapat mengurangi risiko gejala ulkus secara signifikan. Saat ini, penggunaan baik COX-2 inhibitor selektif, atau NSAID dalam kombinasi dengan inhibitor pompa proton atau misoprostol direkomendasikan untuk pengobatan pasien OA yang beresiko tinggi untuk komplikasi GI oleh otoritas OA di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa (Dipiro et al., 2008).
Efek lain yang juga dapat ditimbulkan dari penggunaan NSAID adalah insufisiensi ginjal apabila diberikan untuk pasien yang fungsi ginjalnya tergantung pada prostaglandin. Pasien dengan insufisiensi ginjal kronis atau disfungsi ventrikel kiri, orang tua, dan orang-orang yang menerima diuretik atau obat yang mengganggu sistem renin-angiotensin sangat rentan untuk mengalami hal tersebut. Penurunan filtrasi glomerulus juga dapat menyebabkan hiperkalemia. NSAID kadang menyebabkan nefropati tubulointerstitial dan nekrosis papiler ginjal (Burns et al., 2008).
Peringatan harus diperhaikan pada wanita hamil dan wanita usia subur karena risiko perdarahan sangat tinggi jika janin terkena aktivitas antiplatelet NSAID. Ibuprofen dan naproxen dinilai termasuk dalam kategori kehamilan B pada trimester pertama dan kedua oleh Food and Drug Administration (FDA). Indometasin dan sulindac belum dinilai, sedangkan celecoxib dan etodolac adalah kategori C. NSAID merupakan kontraindikasi selama trimester ketiga karena mereka dapat meningkatkan penutupan duktus arteriosus prematur pada janin (Burns et al., 2008).
·      Interaksi Obat
NSAID rentan terhadap interaksi obat karena ikatan protein yang tinggi, efek merugikan ginjal, dan aktivitas antiplatelet. Interaksi yang sering ditemui dengan aspirin, warfarin, hypoglycemics oral, antihipertensi, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin-receptor blockers (ARB), β-blocker, diuretik, dan lithium. Ketika interaksi dengan NSAID terjadi, pemantauan kewaspadaan diperlukan untuk keberhasilan terapi (misalnya, NSAID menurunkan efek antihipertensi dari diuretik) dan efek samping (misalnya, NSAID menyebabkan peningkatan risiko perdarahan pada pasien dengan terapi antikoagulan) (Burns et al., 2008).
  
3.    Glucosamine dan Chondroitin
Glukosamin diyakini berfungsi sebagai agen chondroprotective, yang merangsang matriks tulang rawan dan melindungi dari kerusakan kimia oksidatif. Chondroitin diberikan sering dalam kombinasi dengan glukosamin, yang diduga dapat menghambat enzim degradatif dan berfungsi sebagai substrat untuk produksi proteoglikan (Burns et al., 2008). Dosis yang dianjurkan setidaknya 1.500 mg/hari untuk glukosamin dan 1.200 mg/hari untuk kondroitin. Komponen glukosamin harus berupa garam sulfat karena keberhasilan hampir semua studi positif menggunakan garam sulfat yang lebih baik diserap dibandingkan garam klorida (Dipiro et al., 2008).
Banyak uji klinis telah mengevaluasi efektivitas zat ini untuk pengobatan OA. Namun kualitas beberapa studi ini telah dipertanyakan. Dalam konteks keterbatasan tersebut, glucosamine dan chondroitin dapat mengurangi rasa sakit dan meningkatkan mobilitas sebesar 20-25 %. Agen ini juga dapat memperlambat perkembangan penyakit dengan mengurangi tingkat kehancuran tulang rawan, meskipun dampak efek klinis masih belum jelas. Glucosamine tidak efektif untuk mengobati nyeri akut. Efek menguntungkan umumnya mencapai puncak selama periode minggu. Sebuah studi Eropa yang membandingkan produk glukosamin resep dengan acetaminophen dan plasebo pada pasien dengan OA lutut, melaporkan bahwa glucosamine memberikan efek lebih baik dibandingkan dengan plasebo dan daripada acetaminophen. Berdasarkan data yang tersedia, glucosamine dan chondroitin dapat efektif untuk beberapa asien dengan OA lutut. Mengingat profil keamanan yang menguntungkan dari glukosamin dan kondroitin, maka agen ini dapat digunakan sebagai pilihan pengobatan untuk pasien dengan gejala OA lutut (Burns et al., 2008).

4.    Kortikosteroid
Injeksi glukokortikoid secara intraartikular dapat memberikan efek analgesik yang sangat baik, terutama ketika ditemukan adanya efusi sendi. Aspirasi efusi dan injeksi glukokortikoid dilakukan secara aseptik, dengan pemeriksaan aspirasi yang direkomendasikan sebagai pengecualian untuk kristal arthritis atau infeksi. Setelah injeksi, pasien harus meminimalkan aktivitas dan stres pada sendi selama beberapa hari. Pengatasan nyeri awal dapat dilihat dalam waktu 24-72 jam setelah injeksi, dengan puncak nyeri sekitar 1 minggu setelah injeksi dan berlangsung hingga 4-8 minggu (Dipiro et al., 2008).
Beberapa plasebo-terkontrol dan studi double-blind acak telah menunjukkan bahwa kortikosteroid intraartikular lebih unggul daripada plasebo dalam mengurangi nyeri lutut dan kekakuan yang disebabkan oleh OA. Ester bercabang dari triamsinolon dan metilprednisolon lebih disukai oleh praktisi karena berkurangnya kelarutan yang memungkinkan agen untuk tetap berada di ruang sendi lagi (Dipiro et al., 2008).
Tidak ada bukti klinis dari penggunaan dosis kortikosteroid yang unggul untuk digunakan secara intraartikular. Dosis equipotent metilprednisolon asetat dan triamcinolone hexacetonide yang digunakan adalah dosis terapeutik rata-rata. Untuk injeksi sendi besar pada orang dewasa adalah 10-20 mg triamsinolon hexacetonide atau 20-40 mg methylprednisolone acetate. Terapi ini umumnya terbatas pada tiga atau empat suntikan per tahun karena potensi efek sistemik steroid, dan karena kebutuhan untuk injeksi lebih sering menunjukkan sedikit respon terhadap terapi (Dipiro et al., 2008).
Efek samping yang berhubungan dengan injeksi kortikosteroid intraartikular dapat berupa efek lokal atau sistemik. Efek samping sistemik adalah sama dengan kortikosteroid sistemik lainnya dan dapat termasuk hiperglikemia, edema, tekanan darah tinggi, dispepsia, dan kadang supresi adrenal apabila digunakan terus menerus atau suntikan berulang. Efek samping lokal dapat mencakup infeksi pada sendi yang terkena, osteonekrosis, tendon pecah, dan atrofi kulit di tempat suntikan. Telah lama diduga bahwa kortikosteroid intraartikular dapat mempercepat kehilangan tulang rawan, namun potensi risiko kerusakan tulang rawan dengan injeksi steroid belum dibuktikan. Tingkat kehilangan tulang rawan cenderung serupa antara kelompok perlakuan dan kontrol. Terapi kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan pada OA , mengingat kurangnya terbukti manfaat dan efek samping terkenal dengan penggunaan jangka panjang (Dipiro et al., 2008).

5.    Hyaluronan (Hyaluronic Acid)
Mekanisme kerja dari Hyaluronan tidak sepenuhnya dipahami. Tulang rawan sehat mengandung asam hyaluronic kental yang merupakan substansi untuk memfasilitasi pelumasan dan penyerapan shock dalam berbagai kondisi bantalan beban. Pasien dengan OA menunjukkan penurunan asam hyaluronic yang mutlak dan fungsional, sehingga diperlukan administrasi eksogen yang disebut sebagai viscosupplementation. Pada responden, manfaat administrasi hyaluronan berlangsung selama periode yang melebihi waktu tinggal di sinovium, menunjukkan bahwa manfaat viscoelasticity luar juga terlibat. Penghambatan mediator inflamasi dan degradasi tulang rawan, stimulasi dari matriks tulang rawan, tindakan saraf, dan kemampuan hyaluronan untuk menginduksi sintesis sendiri dapat menjelaskan mekanisme dari hyaluronan sebagai viscosupplementation (Burns et al., 2008).
Nyeri dan fungsi sendi telah sering dievaluasi dalam uji klinis pemberian hyaluronan untuk pasien dengan OA. Diperoleh hasil yang bertentangan, yang mana pada beberapa responden menunjukkan perbaikan dramatis dan sebagian menunjukkan tidak ada pengaruh positif. Hyaluronan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengatasi nyeri pasien dibandingkan penggunaan kortikosteroid intraartikular. Administrasi biasanya terdiri dari suntikan mingguan selama 3 atau 4 minggu dan ditoleransi dengan baik, meskipun beberapa pasien mungkin melaporkan reaksi lokal. Pasien harus diberi konseling untuk meminimalkan aktivitas dan stres pada sendi selama beberapa hari setelah setiap suntikan (Burns et al., 2008).

6.    Analgesik Opioid
Dosis rendah analgesik opioid dapat berguna pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan acetaminophen, NSAID, injeksi intraartikular, atau terapi topikal. Agen ini sangat berguna pada pasien yang tidak bisa mengkonsumsi NSAID karena gagal ginjal, pasien yang telah melakukan pilihan pengobatan lain dan gagal, serta pasien yang berada dengan risiko tinggi terhadap bedah. Opioid dosis rendah adalah intervensi awal yang biasanya diberikan dalam kombinasi dengan asetaminofen. Komponen lepas lambat biasanya menawarkan kontrol nyeri yang lebih baik sepanjang hari, dan digunakan ketika opioid sederhana tidak efektif. Jika rasa sakit tak tertahankan dan membatasi aktivitas hidup sehari-hari, dan pasien memiliki kesehatan cardiopulmonary yang cukup baik untuk menjalani operasi besar, penggantian sendi lebih baik dibandingkan ketergantungan pada opioid.

7.    Tramadol
Tramadol dengan atau tanpa acetaminophen memiliki efek analgesik sederhana pada pasien dengan OA jika dibandingkan dengan placebo. Tramadol adalah juga cukup efektif sebagai terapi tambahan pada pasien yang memakai bersamaan NSAID atau COX-2 selektif inhibitors. Seperti analgesik opioid, tramadol dapat berguna bagi pasien yang tidak bisa mengkonsumsi NSAID atau COX-2 inhibitor selektif. Tramadol harus dimulai pada dosis rendah (100 mg/hari) dan dapat dititrasi sesuai kebutuhan untuk mengontrol rasa sakit dengan dosis 200 mg/hari. Tramadol tersedia dalam tablet kombinasi dengan acetaminophen dan sebagai tablet lepas lambat. Efek samping opioid seperti seperti mual, muntah, pusing, sembelit, sakit kepala, dan mengantuk umum terjadi pada penggunaan tramadol. Hal ini terjadi pada 60-70 % dari pasien yang diobati, dan 40% pasien menghentikan tramadol karena adanya efek merugikan tersebut. Meskipun frekuensi efek samping yang tinggi, tingkat keparahan efek samping adalah kurang jika dibandingkan dengan NSAID, seperti penggunaan tramadol tidak terkait dengan life threatening perdarahan gastrointestinal atau dengan gagal ginjal (Dipiro et al., 2008).

8.    Terapi Topikal
Produk topikal dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan analgesik oral atau NSAID. Capsaicin yang diisolasi dari cabai dan diformulasikan dalam bentuk krim telah terbukti dalam empat studi placebo controlled dapat mengatasi nyeri pada OA bila diterapkan di sendi. Kejadian buruk terkait penggunaan capsaicin terutama lokal, yaitu pada 1 dari 3 pasien mengalami terbakar, menyengat, dan / atau eritema yang biasanya reda dengan aplikasi berulang-ulang. Capsaicin adalah produk nonprescription yang tersedia dalam bentuk krim, gel, atau lotion pada konsentrasi mulai dari 0,025 % - 0,075 %. Agar efektif capsaicin harus digunakan secara teratur, dan diperlukan sekitar 2 minggu untuk menimbulkan efek. Meskipun penggunaannya dianjurkan empat kali sehari, aplikasi dua kali sehari dapat meningkatkan kepatuhan jangka panjang dan tetap memberikan pengatasan rasa sakit pasien (Dipiro et al., 2008).
Diklofenak topikal dalam sulfoksida dimetil (DMSO) sebagai pembawa (Pennsaid) adalah pengobatan yang aman dan efektif untuk nyeri yang berhubungan dengan OA. Pennsaid tersedia di Kanada dan negara-negara Eropa lainnya dan saat ini sedang ditinjau di FDA. Mekanisme kerja NSAID topikal dianggap melalui penghambatan lokal enzim COX-2. Penggunaan topikal dapat meminimalkan paparan sistemik dan dapat menurunkan risiko efek samping yang serius terkait dengan penggunaan NSAID oral (Dipiro et al., 2008).

D. Novel Therapies and Disease-Modifying Drugs
Modifkasi obat-penyakit tidak ditargetkan pada nyeri tetapi pada mencegah, memperlambat, atau membalikkan kerusakan pada tulang rawan artikular. Sejauh ini OA adalah penyakit progresif yang hanya bisa diobati gejalanya. Karena itu dokter sangat tertarik akan kemampuan kondroitin dan / atau glukosamin untuk memperlambat kerusakan, meskipun temuan tersebut memerlukan studi lebih lanjut. Pendekatan baru untuk memperlambat perkembangan OA sedang diselidiki, tetapi kebanyakan produk telah diuji pada model binatang, dan data manusia yang tersedia terbatas. Satu pendekatan yang melibatkan agen farmakologis yang bisa meniru inhibitor jaringan metalloproteinase sehingga berpotensi menurunkan kerusakan tulang rawan (Dipiro et al., 2008).
Beberapa penelitian telah menyelidiki penggunaan tetrasiklin atau doksisiklin, yang tampaknya dapat menghambat metalloproteinases. Pada OA lutut, doxycycline telah terlihat untuk menunda hilangnya tulang rawan artikular (penyempitan ruang sendi) pada manusia bila dibandingkan dengan placebo. Agen lainnya yang bertindak sebagai inhibitor ekspresi gen metalloproteinase, juga sedang dipertimbangkan dalam mengembangkan obat untuk menghambat kerusakan sendi pada OA. Agen lain sedang dipelajari adalah diacerein, penghambat interleukin-1β. Dalam meta - analisis termasuk total 2.069 pasien OA, agen ini dapat menyebabkan penurunan nyeri sampai batas yang sederhana namun secara statistik signifikan dibandingkan dengan plasebo. Dalam studi jangka panjang, diacerein tampaknya menunjukkan perlambatan perkembangan penyempitan ruang sendi yang signifikan pada pinggul, tetapi tidak pada lutut (Dipiro et al., 2008).

6.    Monitoring dan Evaluasi Outcome Therapeutic
Monitoring farmakoterapi pada pasien OA sangat spesifik, terfokus pada derajat dan tingkat perluasan dari persendiaan yang dilibatkan, umur pasien, obat-obat yang diberikan secara bersamaan, pemilihan terapi obat dan non obat yang dipilih. Untuk memonitoring respon sakit pasien dapat dinilai dari Visual Analog Scale, daerah pergerakan sendi yang terlibat. Hal ini dapat dilihat gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi sendi yang terlibat. Keparahan OA dapat dihitung dari kekuatan cengkraman dan waktu yang diperlukan diperlukan saat berjalan 50 kaki. Hal-hal lain yang perlu dimonitoring adalah penggunaan analgesik dan NSAIDs. Salah satu cara lain untuk membantu monitoring OA adalah, penilaian kualitas hidup lewat pemberian kuisioner khusus arthritis.
Monitoring efek samping obat yang diberikan dapat dilakukan secara langsung dan hasilnya sangat baik. Monitoring secara langsung melalui observasi ataupun interview akan dapat mengetahui masalah-masalah yang dialami pasien selama pengobatan dilakukan. Contohnya, pengobatan dengan menggunakan beberapa obat NSAIDs secara bersamaan. Dari monitoring dapat diketahui efek samping apa yang terjadi ada pasien seperti apakah ada rasa sakit pada abdominal, sakit kepala, mual atau apakah ada perubahan warna feses atau tidak. Untuk memonitoring apakah ada toksisitas pada ginjal, hati, saluran GI dan sumsum tulang dapat dilakukan dengan determinasi serum kreatinin, profil hematologi, dan level serum transaminase.
Untuk pasien yang menerima kortikosteroid intraartikular, perbaikan harus dimulai dengan 2 sampai 3 hari dan terakhir 4 sampai 8 minggu. Pasien harus dianjurkan tentang kemungkinan reaksi di tempat suntikan, serta efek sistemik yang mungkin terjadi, terutama bagi mereka dengan hipertensi atau diabetes, karena ada potensi peningkatan tekanan darah atau glukosa darah (lebih mungkin untuk dosis yang lebih tinggi diberikan lebih sering). Untuk pasien yang menerima asam hialuronat intraartikular, perbaikan dapat dimulai dalam waktu 3 sampai 4 minggu dan bisa bertahan beberapa bulan, dan pasien harus disarankan tentang kemungkinan reaksi injeksi-situs dan reaksi alergi. Untuk pasien yang menerima opioid atau tramadol, bantuan dari rasa sakit diharapkan dapat terjadi dengan cepat. Pasien, terutama jika lemah atau tua, harus dipantau secara hati-hati dan memperingatkan tentang sedasi, disforia, mual, risiko jatuh, sembelit, dan pengembangan toleransi (Dipiro, 2008). Dilakuakn evaluasi serum kreatinin, hitung darah lengkap, dan serum tranasaminases pada awal terapi dan setiap 6 -12 bulan pada pasien yang diobati dengan NSAID atau acetaminophen serta memantau interaksi obat, termasuk alkohol, pada setiap kunjungan. (Burns et al., 2008)

0 komentar:

Post a Comment

 

About Us

My photo
Kami adalah mahasiswa/i Program Studi Profesi Apoteker angkatan VIII Universitas Udayana (PSPA8 Udayana). Kami beranggotakan 53 calon apoteker masa depan, yang saat ini (saat blog ini dibuat) masih menempuh pendidikan profesi kami guna menyangdang gelar "Apt" dan pengelolaan blog ini di wakili oleh kami yang wajahnya tertera pada foto profil :) Kami, segenap anggota PSPA8 Udayana berharap blog ini dapat berguna bagi semua orang yang membaca blog ini. Kami juga memohon doa dan restu agar kami dapat segera mencapai cita kami dan dapat berguna bagi nusa dan bangsa. God Bless U! O:)

We Are Pharmacist

We Are Pharmacist