Rheumatologi: Rheumatoid Athritis

1. Definisi
Rheumatoid arthritis (RA) adalah peradangan kronis dan biasanya merupakan gangguan inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang ditandai dengan keterlibatan sendi simetris polyarticular dan manifestasi sistemik (Wells et al., 2009).

2. Etiologi
Penyebab terjadinya RA belum diketahui secara pasti tetapi biasanya dikaitkan dengan genetic susceptibility, environmental arthritogen, dan autoimmunity. Menurut Burns et al. (2008), faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan penyakit RA antara lain:
# jenis kelamin : wanita 3 kali lebih berisiko dibanding pria
# pertambahan usia : rentang 35-50 tahun
# perokok
# riwayat penyakit dalam keluarga
# lingkungan : orang yang bekerja di daerah industri memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami
 RA tetapi hubungan antara faktor lingkungan dan kejadian RA belum diketahui secara pasti penggunaan 
kontrasepsi oral, konsumsi vitamin D dosis tinggi dan teh menurunkan resiko RA.

Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II dari tulang rawan sendi penderita. Menurut Dhillon and Raymond (2009) riwayat infeksi juga diasosiasikan dengan RA, dimana terdapat pendapat bahwa onset RA dapat terjadi setelah infeksi virus Epstein–Barr, parvoviruses, dan mikobakteri.

3. Patofisiologi
Peradangan kronis dari jaringan sinovial lapisan kapsul sendi mengakibatkan proliferasi jaringan. Peradangan yang merupakan karakteristik proliferasi sinovium dari RA disebut panus. Panus akan menyerang tulang rawan dan akhirnya menuju permukaan tulang, mengakibatkan erosi tulang dan tulang rawan dan dapat menyebabkan rusaknya sendi (Dipiro et al, 2008)Patofisiologis RA yang ditunjukkan pada gambar 1 adalah sebagai berikut:
·   Rheumatoid arthritis dihasilkan dari disregulasi komponen humoral dan mediate-cell pada sistem imun. Beberapa pasien membentuk antibodi yang dinamakan faktor rheumatoid. Pada pasien seropositif ini cenderung memiliki kejadian yang lebih bersifat agresif dibandingkan pasien yang seronegatif.
·   Tumor Necrosis Factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), IL-6 adalah proinflamatory sitokin yang penting dalam inflamasi awal dan berkelanjutan.·   Immunoglobulin (Igs) mengaktifkan sistem pelengkap yang memperjelas respon imun dengan meningkatkan kemotaksis, fagositosis, dan pelepasan limfokin oleh sel mononuklear yang ada pada limfosit T. Proses antigen ini diakui oleh sebagian besar kompleks protein histocom-patibility pada permukaan limfosit yang menyebabkan pengakifan sel T dan sel B.
·   Sel T dapat berupa T-helper (yang mempromosikan peradangan) atau sel T-supresor (yang melemahkan respon inflamasi). Pengaktifan sel T (T-helper) akan menghasilkan sitotoksin yang secara langsung meracuni jaringan dan sitokin yang merangsang lebih lanjut aktivasi proses inflamasi dan menyerang sel pada daerah inflamasi. Makrofag dirangsang untuk melepas prostaglandin dan sitotoksik.
·   Pengaktifan sel B menyebabkan produksi sel plasma yang berbentuk antibodi dengan kombinasi komplemen. Hasilnya diakumulasi pada leukosit polimorfonuklear. Leukosit polimorfonuklear melepas sitotoksin, oksigen radikal bebas, dan hidrogen radikal bebas yang merangsang kerusakan pada sel sinovium dan tulang.
·   Senyawa vasoaktif (histamin, kinin, prostaglandin) dilepas pada tempat inflamasi, terjadi peningkatan aliran darah dan permeabilitas vaskular. Hal ini menyebabkan edema, demam, erithemia, dan nyeri. Kondisi tersebut mempermudah granulosit dari pembuluh darah melewati tempat inflamasi.
·   Inflamasi kronik pada lapisan jaringan sinovial membentuk suatu gabungan kapsul yang merupakan hasil proliferasi jaringan (formasi panus). Panus menyerang kartilago (tulang rawan) sampai ke permukaan tulang sehingga menyebabkan erosi tulang dan kortilago, hal ini berperanan penting dalam perusakan persendian tulang. Akibat dari hal tersebut mungkin akan menyebabkan hilangnya ruang tulang, fusi pada tulang (ankylosis), subluxation pada sendi tulang, kontraktur tendon, dan kecacatan kronik.
(Dipiro et al, 2008)



Gambar 1. Patogenesis terjadinya respon inflamasi. Fase 1: antigen masuk ke dalam sel melalui proses fagositosis. Fase 2: Antigen berada dalam limfosit T. Limfosit T mengikat antigen pada bagian MHC dinding sel sehingga menyebabkan aktivasi. Fase 3: Aktivasi sel T merangsang produksi limfosit-T dan limfosit-B, memacu inflamasi. Fase 4: Aktifasi sel T dan makrofag melepaskan faktor yang memacu kerusakan jaringan, meningkatkan aliran darah, dan menyebabkan invasi selular pada jaringan sinovial dan cairan sendi. (Ag, antigen; PMN, polymorphonuclear leukocyte) (Dipiro et al, 2008).

4. Eksaserbasi pada Rheumatoid Athritis
Banyak dari reseptor pengenalan pola ini disajikan oleh jaringan dan berbudaya FLS sinovial arthritis, termasuk TLR2, TLR4, dan TLR9. Eksogen TLR ligan, seperti sebagai peptidoglikan bakteri dan DNA, dan endogen ligan, seperti heat shock protein (HSPs), fibrinogen, dan hyaluronan, yang hadir dalam sendi rematik. Keterlibatan reseptor ini berpartisipasi dalam model hewan arthritis dan dapat memperburuk inflamasi sinovial. TLR3, yang mengakui virus RNA untai ganda dan mengaktifkan respon antivirus, juga diungkapkan oleh sel-sel pada lapisan intima. Debris nekrotik mengandung mRNA dari cairan sel sinovial RA mengaktifkan sinyal TLR3 dan ekspresi gen proinflamasi di sinovitis (Firestein, tt).
Perhatian telah diarahkan pada potensi peran Mycoplasma dan Chlamydia pada arthritis. Mycoplasma superantigen yang diturunkan, seperti dari Mycoplasma arthritidis, langsung dapat menginduksi sel T-sitokin independen produksi oleh makrofag dan dapat memperburuk atau memicu arthritis pada tikus yang diinjeksi dengan kolagen tipe II. Ada juga adalah prevalensi yang lebih tinggi anti-Mycoplasma pneumonia, Antibodi IgG pada pasien RA daripada kelompok kontrol. Meskipun bukti-bukti lainnya, sebagian besar upaya ini dan untuk mengidentifikasi organisme Mycoplasma dan Chlamydia atau DNA di sampel gabungan telah menghasilkan hasil negatif, dan ada bukti langsung untuk mendukung organisme ini sebagai etiologi agen (Firestein, tt).
Potensi relevansi kematian diinduksi Fas sebagai terapi modalitas telah ditunjukkan dalam collagen induced murine arthritis, di mana tingkat tinggi Fas dan rendahnya tingkat
FasL diekspresikan oleh sel sinovial. Pada suatu penelitian, tikus diobati dengan injeksi intra-artikular dari vektor encoding adenoviral Fas ligan mengalami penurunan sinovial inflamasi. Studi DNA labeling menunjukkan bahwa konstruksi meningkatkan apoptosis sinovial. Antibodi anti-Fas juga menginduksi kematian sel sinovial dalam jaringan sinovial RA explanted di tikus SCID. Dalam model tikus SCID menggunakan RA sinovial eksplan, antibodi anti-DR5 menurunkan erosi tulang rawan. Demikian pula, transfer adenoviral dari TRAIL dalam model kelinci arthritis menurunkan sinovial inflamation. Pentingnya
apoptosis sebagai pengatur inflamasi dikonfirmasi di murine kolagen-induced arthritis, di mana defisiensi anti-DR5 antibodi atau DR5 genetik memperburuk penyakit (Firestein, tt).
Eksaserbasi fatal yang cepat pada rheumatoid arthritis juga terjadi terkait alveolitis fibrosa setelah menggunakan infliximab (antibodi monoklonal anti-TNFa chimeric, Remicade, Schering-Plough). Pada kasus, setiap pasien memiliki rheumatoid arthritis lama, mengambil azathioprin, dan sebelumnya telah didiagnosa menderita gejala alveolitis fibrosa. Tiba-tiba mengalami sesak napas yang berhubungan dengan penurunan fungsi paru-paru terjadi setelah tiga atau lebih sedikit dosis infliximab. Penyelidikan ekstensif tidak menemukan infeksi atau penyebab lain penurunan pernapasan (Ostor et al., 2004).
5. Remisi pada Rheumatoid Athritis
Menurut American Rheumatoid Association, minimal 5 atau lebih yang harus dipenuhi selama minimal 2 bulan berturut-turut:
-     Kekakuan pagi tidak melebihi 15 menit
-     Tidak ada kelelahan
-     Tidak ada nyeri sendi (berdasarkan riwayat)
-     Tidak ada nyeri sendi atau nyeri pada gerak
-     Tidak ada pembengkakan jaringan lunak pada sendi atau selubung tendon
-     ESR (W) < 30 mm/jam (f); < 20 mm/jam (m) (American College of Rheumatology, tt).

6. Gejala dan Data Klinik
a. Gejala
Gejala pada RA umumnya nonspesifik, seperti letih, lemah, demam ringan, dan hilangnya nafsu makan yang disertai dengan gejala pada sendi. Kekakuan sendi dan myalgia (rasa sakit pada otot) muncul mendahului perkembangan sinovitis. Kekakuan sendi cenderung menjadi masalah pada pagi hari (Dipiro et al., 2008 dan Linn et al., 2009). Durasi kaku pada sendi berhubungan langsung dengan aktivitas penyakit. Umumnya, durasi kaku pada sendi melebihi 30 menit dan dapat menetap sepanjang hari (Dipiro et al., 2008).
Rheumatoid arthritis umumnya menyebabkan arthritis simetrik yang dikarakterisasi dengan adanya keterlibatan sendi-sendi tertentu, yaitu metacarpophalangeal (MCP), interphalangeal proksimal (PIP), metatarsophalangeal (MTP), dan sendi pergelangan. Sendi interphalangeal distal jarang menunjukkan gejala (Fauci et al., 2008 dan Burns et al., 2008).

b. Data Klinik
Tidak ada pengujian yang spesifik untuk diagnosis RA. Namun, faktor rheumatoid (RF), yang merupakan autoantibodi reaktif pada bagian Fc dari IgG, ditemukan pada lebih dari dua pertiga penderita dewasa. Antibodi ini digunakan untuk mengevaluasi pasien RA. Keberadaan RF tidak spesifik untuk penyakit RA karena RF ditemukan pada 5% populasi normal. Antibodi lain, yaitu anti-CCP (cyclic citrullinated peptide) juga dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien RA. Uji anti-CCP memiliki sensitivitas yang sama dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan uji RF. Laju sedimentasi eritrosit (erythrocyte sedimentation rate /ESR) meningkat pada hampir semua pasien dengan RA aktif (> 20 mm/jam pada pria dan >30 mm/jam pada wanita). Analisis cairan sinovial memastikan adanya artritis inflamatori, walaupun hasil temuannya tidak spesifik. Cairan ini umumnya keruh dengan penurunan viskositas, berwarna kekuningan, memiliki kandungan protein yang meningkat, memiliki konsentrasi glukosa yang normal atau sedikit di bawah normal, angka leukosit 5000-25.000 WBC/mm3 (5–25 × 109/L), dan negatif bila dikultur. Uji hematologi umumnya menunjukkan anemia ringan hingga sedang dengan indeks normosistik dan normokromik. Pada RA ditemukan peningkatan CRP (> 0,7 mg/dL atau > 7 mg/L). Radiografi sendi dapat menunjukkan osteoporosis periartikular, penyempitan ruangan sendi, atau erosi (Fauci et al., 2008, Dipiro et al., 2008, dan Burns et al., 2008).

7. Penatalaksanaan Terapi
A. Terapi Non Farmakologi
Istirahat, terapi okupasi, terapi fisik, penggunaan alat bantu, penurunan berat badan, dan operasi merupakan terapi non farmakologi pada pasien RA. Istirahat dapat mengurangi stres pada radang sendi, mencegah kerusakan sendi, dan membantu dalam pengentasan rasa sakit. Namun, terlalu banyak istirahat dan imobilitas dapat menyebabkan penurunan rentang gerak, dan atrofi otot serta kontraktur. Terapi okupasi dan fisik diperlukan untuk meningkatkan atau mempertahankan mobilitas. Penurunan berat badan membantu untuk meringankan stres pada radang sendi. Tenosynovectomy, perbaikan tendon, dan penggantian sendi adalah pilihan bedah untuk pasien RA (Dipiro et al., 2005).

B. Terapi Farmakologi
Kelas obat yang biasa diresepkan untuk pengobatan RA antara lain non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID), glukokortikoid (kortikosteroid), DMARDs, dan pengubah respon biologis atau Biologic Response Modifiers (BRMs) (Burns et al., 2008).
1.    NSAID
NSAID bermanfaat sebagai analgesik dan antiinflamasi untuk nyeri sendi dan bengkak, namun tidak mencegah merusaknya sendi dengan menghambat sintesis prostaglandin (Burns et al., 2008).
2.    Glukokortikoid (Kortikosteroid)
Kortikosteroid digunakan dalam RA sebagai antiinflamasi dan imunosupresif. Mekanismenya yaitu mengganggu presentasi antigen ke limfosit T, menghambat prostaglandin dan sintesis leukotrien, dan menghambat neutrofil dan monosit superoksida. Kortikosteroid juga mengganggu migrasi sel dan menyebabkan redistribusi monosit, limfosit, dan neutrofil, sehingga menghentikan respon inflamasi dan autoimun (Dipiro et al., 2005).
3.    DMARDs
DMARDs merupakan andalan pengobatan RA karena mampu memodifikasi proses penyakit dan mencegah atau mengurangi kerusakan sendi. Obat-obat yang termasuk DMARDs adalah methotrexate, hydroxychloroquine, sulfasalazine, dan leflunomide (Burns et al., 2008). Selain itu juga gold salts, azathioprin, d-penicillamin, siklosporin, siklofosfamis, dan minocycline (Dipiro et al., 2005).
4.    BRMs
BRMs secara genetik merupakan molekul protein rekayasa yang mampu memblokir sitokin proinflamasi. Obat ini mungkin efektif bila DMARDs lainnya gagal untuk mencapai respon, tetapi obat ini jauh lebih mahal. Obat ini tidak memiliki toksisitas yang membutuhkan pemantauan laboratorium, tetapi memiliki peningkatan risiko kecil untuk infeksi. Obat yang termasuk golongan ini antara lain Etanercept (sebagai Tumor Necrosis Factor Antagonists), Anakinra (sebagai Interleukin 1 Receptor Antagonist), Abatacept (sebagai Costimulation Blokers), Rituximab (Anti-CD20 Monoclonal Antibody), Adalimumab (Antibodi IgG1 manusia terhadap TNF), dan Infliximab (Antibodi anti-TNF) (Burns et al., 2008; Dipiro et al., 2005).
Algoritma Pengobatan Rheumatoid Athritis ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2. Algoritma Pengobatan Rheumatoid Athritis (Dipiro et al., 2008).

Refference:


0 komentar:

Post a Comment

 

About Us

My photo
Kami adalah mahasiswa/i Program Studi Profesi Apoteker angkatan VIII Universitas Udayana (PSPA8 Udayana). Kami beranggotakan 53 calon apoteker masa depan, yang saat ini (saat blog ini dibuat) masih menempuh pendidikan profesi kami guna menyangdang gelar "Apt" dan pengelolaan blog ini di wakili oleh kami yang wajahnya tertera pada foto profil :) Kami, segenap anggota PSPA8 Udayana berharap blog ini dapat berguna bagi semua orang yang membaca blog ini. Kami juga memohon doa dan restu agar kami dapat segera mencapai cita kami dan dapat berguna bagi nusa dan bangsa. God Bless U! O:)

We Are Pharmacist

We Are Pharmacist