1.1
Definisi
Konstipasi adalah
kelainan pada sistem pencernaan dimana seseorang mengalami pengerasan feses
atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan
dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri sebenarnya bukanlah
suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai adanya
suatu penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al., 2008). Seseorang dikatakan mengalami konstipasi apabila frekuensi
BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu disertai
konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses
besar-besar maupun akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta
mengalami sensasi rasa tidak puas pada saat buang air besar. Frekuensi defekasi
yang kurang dari normal belum tentu dapat dikatakan menderita konstipasi apabila
ukuran ataupun konsistensi fesesnya masih normal (McQuaid, 2006).
Berdasarkan National Health Interview,
prevalensi konstipasi di Amerika Serikat berkisar antara 2-20%. Di Cina, survei
yang dilakukan pada orang berusia kurang dari 60 tahun di beberapa kota
menunjukkan kejadian konstipasi kronis sebesar 15-20%. Di Beijing dilakukan
studi acak pada orang dewasa usia 18-70 tahun dan ditemukan 6,07% persennya menderita
konstipasi. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai lansia.
Berdasarkan International Database US
Census Bureau pada tahun 2003 prevalensi konstipasi di Indonesia
sebesar 3.857.327 jiwa. Angka kejadian konstipasi di dunia maupun di indonesia
cukup tinggi namun masih sebagian besar penderita biasanya hanya melakukan
pengobatan sendiri. Farmasis dapat menyarankan obat-obatan Over The Counter (OTC) guna perbaikan keluhan pasien.
1.2
Etiologi
Beberapa penyakit dan penggunaan obat
tertentu merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan timbulnya
konstipasi. Gangguan saluran gastrointestinal (sindrom iritasi usus atau
diverticulitis), gangguan metabolik (diabetes), atau gangguan endokrin
(hipotiroidisme) dapat terlibat dalam timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya disebabkan
karena rendahnya asupan serat atau dari penggunaan obat-obatan seperti opiat
yang dapat menginduksi terjadinya konstipasi (Burns et al., 2008). Pada orang tua konstipasi yang sering terjadi dapat
disebabkan karena hasil dari diet yang tidak tepat (rendah serat dan cairan),
kekuatan otot pada dinding abdomen berkurang, serta karena berkurangnya
aktivitas fisik. Namun frekuensi buang air besar tidak menurun dengan penuaan
normal (Dipiro et al., 2008). Daftar
penyebab umum konstipasi pada kondisi penyakit tertentu ditampilkan dalam tabel
1.1.
Tabel
1.1 Daftar Penyebab Umum Konstipasi
Kondisi
|
Etiologi
yang Berpotensi Menyebabkan Konstipasi
|
Gangguan
GI
|
·
Irritable
Bowel Syndrome (IBS)
·
Diverticulitis
·
Penyakit saluran pencernaan atas
·
Penyakit anal dan rektal
·
Wasir
·
Ulcerative
proctitis
·
Tumor
·
Hernia
·
Volvulus usus
·
Sifilis
·
Tuberkulosis
·
Infeksi cacing
|
Gangguan
metabolisme dan endokrin
|
·
Diabetes melitus dengan neuropati
·
Hipotiroidisme
·
Panhypopituitarism
·
Pheochromocytoma
·
Hiperkalsemia
·
Kelebihan glukagon enterik
|
Kehamilan
|
·
Motilitas usus tertekan
·
Peningkatan penyerapan cairan dari
usus
·
Penurunan aktivitas fisik
·
Perubahan pola makan
·
Asupan cairan yang tidak memadai
·
Asupan serat rendah
·
Penggunaan garam besi
|
Penyebab
Neurogenik
|
·
Penyakit SSP
·
Trauma otak (terutama medula)
·
Cedera tulang belakang
·
Tumor SSP
·
Kecelakaan serebrovaskular
·
Parkinson
|
Penyebab
psikogenik
|
·
Mengabaikan keiginan untuk buang air
besar
·
Penyakit kejiwaan
|
Induksi
Obat
|
·
Analgesik (inhibitor sintesis
prostaglandin, opiat)
·
Antikolinergik (antihistamin, agen
antiparkinsonian, Phenothiazines, Tricyclic antidepressant)
·
Antasida yang mengandung CaCO3
atau Al(OH)3
·
Barium sulfat
·
Calcium
channel blockers
·
Clonidine
·
Diuretik (tidak hemat kalium)
·
NSAID
|
(Dipiro et al., 2008)
1.3
Fisiologi
Normal
Fungsi sistem
pencernaan adalah memproses makanan menjadi bentuk molekulernya yang kemudian
akan diserap dan didistribusikan ke sel melalui sistem sirkulasi. Dalam proses
pencernaan, terdapat sisa pencernaan yang harus diekskresikan, yaitu feses.
Feses mengandung material yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap
sehingga dikeluarkan melalui proses defekasi (Vander
et al., 2001).
Gambar 1.1 Saluran
cerna manusia (lambung dan usus)
Mekanisme
yang berperan dalam proses defekasi sangat kompleks. Defekasi dirangsang oleh
gerakan peristaltik akibat adanya massa feses di dalam rektum (Endyarni dan
Syarif, 2004). Sebelum memasuki rektum, makanan yang bercampur dengan
enzim-enzim pencernaan (chyme)
memasuki cecum (bagian awal dari kolon) melalui ileocecal sphincter.
Sfingter ini secara normal tertutup, tetapi setelah makan, refleks
gastroileal meningkatkan kontraksi ileum, sfingter mengalami rileks ketika
bagian terminal ileum berkonstraksi, diikuti oleh masukknya chyme ke dalam kolon. Di sisi lain,
penggelembungan kolon menghasilkan refleks kotraksi pada sfingter, mencegah
material yang ada di fecal kembali ke
usus kecil (Vander et al., 2001).
Kurang
lebih 1500 mL chyme memasuki kolon
setiap harinya. Material ini berasal dari sekresi dari bagian bawah usus kecil,
karena sebagian besar makanan yang dicerna telah diabsorbsi sebelum melalui
kolon. Absorbsi cairan oleh kolon secara normal, hanya merupakan bagian kecil
dari cairan yang memasuki saluran gastrointestinal tiap harinya. Proses absorbsi
primer pada kolon adalah transport aktif sodium dari lumen menuju darah, yang
diikuti absorbsi osmotik air. Jika material fecal
masih berada di kolon dalam waktu yang lama, hampir semua air tersebut
diabsorbsi dan dihasilkan feses yang keras. Terdapat perpindahan potasium total
yang normal dari darah menuju lumen kolon dan pengurasan total potasium dalam
tubuh dapat terjadi bila cairan dalam jumlah besar diekskresikan melalui feses.
Terdapat pula perpindahan total ion bikarbonat menuju lumen. Kehilangan
bikarbonat (basa) pada pasien dengan diare yang panjang dapat menyebabkan darah
menjadi asam (Vander et al., 2001).
Kontraksi
dari otot polos sirkular pada kolon menghasilkan gerak segmentasi dengan ritme
yang jauh lebih lambat (sekali setiap 30 menit) dibandingkan di dalam usus
kecil. Karena lambatnya dorongan dari konten pada kolon, dibutuhkan waktu 18-24
jam untuk dapat memasukkan makanan dari usus kecil menuju kolon. Tiga sampai
empat kali sehari, bisanya diikuti oleh makanan, gelombang kontraksi usus
(perpindahan massa) menyebar
dengan cepat melalui segmen melintang dari kolon menuju rektum. Hal ini
biasanya bertepatan dengan gastroileal refleks. Tidak seperti gelombang
peristaltik, di mana otot polos pada setiap titik mengalami rileks setelah
gelombang kontraksi terjadi, otot polos kolon tetap berkontraksi untuk beberapa
saat setelah perpindahan massa terjadi (Vander et al., 2001).
Anus
biasanya ditutup oleh sfingter anal internal (terdiri dari otot polos) dan
sfingter anal eksternal (terdiri dari otot rangka) yang dapat dikontrol secara
sadar. Penggelembungan tiba-tiba dinding rektum yang akibat gerakan massa feses
ke dalam rektum, memulai refleks buang air besar yang dimediasi oleh
mekanoreseptor. Respon refleks terdiri dari kontraksi rektum, relaksasi
sfingter anal internal, tetapi terjadi kontraksi sfingter anal eksternal (pada
awalnya) dan meningkatnya aktivitas peristaltik di kolon sigmoid. Akhirnya,
tekanan tercapai dalam rektum yang memicu refleks relaksasi dari sfingter anal
eksternal, yang memungkin-kan kotoran harus dikeluarkan. Otak dapat mengatur
hal tersebut, namun, melalui jalur balik saraf somatik ke sfingter anal
eksternal, menimpa sinyal refleks yang akhirnya akan mengendurkan sfingter,
dengan demikian menjaga sfingter eksternal ditutup dan memungkinkan seseorang
untuk menunda buang air besar. Pada kasus ini, penggelembungan berkepanjangan
rektum menginisiasi peristaltik balik yang mendorong isi rektum kembali ke
kolon sigmoid. Dorongan untuk defekasi kemudian mereda sampai gerakan massa
yang ada di depannya mendorong tinja ke rektum, meningkatkan volume, dan
memulai lagi refleks buang air besar. Kerusakan sumsum tulang belakang dapat
menyebabkan hilangnya kontrol sadar untuk melakukan defekasi (Vander et al., 2001).
Defekasi
biasanya dibantu oleh inspirasi dalam, diikuti dengan penutupan glotis dan
kontraksi otot-otot perut dan dada, menghasilkan peningkatan tekanan perut yang
ditransmisikan pada massa yang ada pada kolon dan rektum. Manuver ini (manuver
Valsava) juga menyebabkan peningkatan tekanan intratoraks, yang mengarah pada
peningkatan tekanan darah yang sementara, kemudian diikuti oleh penurunan
tekanan karena aliran balik vena ke jantung berkurang. Perubahan kardiovaskular
akibat regangan berlebihan saat buang air besar dapat memicu stroke atau
serangan jantung, terutama pada orang tua sembelit dengan penyakit jantung
(Vander et al., 2001).
1.4
Patofisiologi
Penyakit
Konstipasi bukan merupakan suatu
penyakit, namun merupakan gejala dari adanya suatu penyakit atau masalah dalam
tubuh. Pengobatan pada konstipasi harus diawali dengan usaha untuk menetapkan
penyebabnya. Gangguan pada saluran pencernaan, gangguan metabolisme atau
gangguan sistem endokrin dapat menjadi hal-hal yang terkait dengan timbulnya
konstipasi. Konstipasi umumnya hasil dari diet rendah serat atau penggunaan
obat-obat yang menyebabkan konstipasi seperti obat-obat golongan opiat. Di samping
itu, hal-hal yang berawal dari gangguan psikis juga dipercaya menyebabkan
konstipasi, penurunan kekuatan otot dinding abdomen dan kemungkinan penurunan
aktifitas fisik. Bagaimana pun juga, frekuensi pergerakan usus tidak berkurang
pada usia produktif. Selain itu, penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
konstipasi, seperti kanker kolon dan diverticulitis, akan meningkat
kemungkinannya seiring dengan bertambahnya umur. Contoh faktor penyebab
konstipasi telah dijelaskan pada sub bab etiologi. Penggunaan obat-obatan
(tabel 1.1) yang menghambat fungsi neurologis atau otot saluran cerna (terutama
usus besar) juga merupakan penyebab konstipasi (Dipiro et al., 2008).
1.5
Manifestasi
Klinis
A. Tanda
dan Gejala
·
Pasien mengeluh tentang
rasa tidak nyaman dan kembung pada perut, kelelahan, sakit kepala, mual dan
muntah, pergerakan usus yang hilang, feses dengan ukuran kecil, perasaan penuh,
kesulitan, dan sakit saat mengeluarkan feses (Dipiro et al., 2008; Sukandar dkk., 2008)
·
Implikasi dari
konstipasi dapat bervariasi mulai dari rasa tidak nyaman sampai gejala kanker
usus besar atau penyakit serius lainnya (Sukandar dkk., 2008).
·
Konstipasi menunjukan
gejala yang parah apabila ditandai dengan gejala berlangsung lebih dari 3
minggu, terdapat darah dalam tinja, penurunan berat badan, demam, anoreksia, mual, dan muntah atau
setiap kali terjadi perubahan kebiasaan buang air besar yang biasa terjadi
secara signifikan (Burns et al.,
2008).
B. Tes
Laboratorium
· Pada
tes laboratorium, terdapat serangkaian pemeriksaan, termasuk proktoskopi,
sigmoidoskopi, kolonoskopi, dan barium enema yang mungkin diperlukan untuk
menentukan adanya kolorektal patologi.
· Studi
mengenai fungsi tiroid dapat dilakukan untuk menentukan adanya metabolik dan
gangguan endokrin yang berhubungan dengan konstipasi.
(Dipiro
et al., 2008).
1.6
Tata Laksana Terapi dan Farmakologi Obat
Pada pasien dengan konstipasi, tujuan
utama terapi adalah untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebab sekunder,
mengurangi gejala, serta mengembalikan fungsi normal usus (Chisholm-Burns et al., 2008). Tindakan umum yang diyakini bermanfaat dalam mengatasi
konstipasi adalah modifikasi diet untuk meningkatkan jumlah serat yang
dikonsumsi tiap hari, olahraga, penyesuaian pola buang air besar sehingga
teratur dan waktu yang memadai dibuat untuk merespon dorongan untuk buang air
besar, dan meningkatkan asupan cairan. Jika yang mendasari penyebab konstipasi adalah
penyakit lain, maka lakukan upaya untuk menyembuhkannya. Gangguan
GI yang berbahaya bisa dihilangkan melalui bedah reseksi. Penyakit pada
endokrin dan metabolik harus ditangani dengan metode yang tepat. Obat yang
berpotensi menyebabkan konstipasi harus diidentifikasi dan dipertimbangkan
diganti dengan agen lainnya. Jika tidak ada alternatif yang rasional untuk
menggantinya, maka dapat dipertimbangkan untuk menurunkan dosis dari obat
tersebut (Dipiro et al.,
2008).
Satu atau lebih laksatif dapat diberikan
untuk mengobati gejala. Jika apoteker merasa
bahwa pasien hanya perlu diberikan
saran diet, maka akan
masuk akal untuk melihat terlebih dahulu keadaan pasien
sekitar 2 minggu untuk melihat apakah konstipasi menetap sebelum pasien dirujuk ke dokter (Blenkinsopp et al., 2005).
a. Algoritma Terapi Konstipasi
Riwayat
a. frekuensi
feses
b. konsistensi
feses
c.
Kesulitan buang air besar
Kemungkinan
penyebab
a. Diet makanan tinggi serat yang kurang dan
terutama terdiri dari makanan yang sangat halus
b. Gangguan GI
c. Gangguan metabolisme dan endokrin
d. Kehamilan
e. Neurogenik
f. Psikogenik
g. Diinduksi oleh penggunaan obat
h. Penyalahgunaan laksatif
Gejala
yang terlihat pada sembelit kronis
a. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
(hipokalemia)
b. Protein-losing gastroenteropathy dengan
hipoalbuminemiak. Sindrom yang me- nyerupai kolitis
Pilih
uji diagnostik yang tepat
a. Proktoskopi
b. Sigmoidoskopi
c. Kolonoskopi
d. Barium enema
Diagnosa
1. Mengobati
penyebab spesifik
2. Tidak ada
diagnosis, terapi simtomatis :
a. Bulk-forming agent
b. Modifikasi
diet
c. Perubahan
gaya hidup (olahraga)
d. Asupan cairan
e.
Hentikan obat yang berpotensial menginduksi konstipasi
Sebelum memulai terapi, pasien harus
ditanyakan tentang frekuensi pergerakan usus dan tingkat keparahan konstipasi.
Pasien juga harus berhati-hati dalam
menjawab pertanyaan yang berkaitan tentang kebiasaan diet dan regimen laksatif
yang dikonsumsi. Pasien juga harus ditanyakan dengan seksama tentang kebiasaan
diet dan regimen pencahar yang diterima. Ditanyakan apakah pasien memiliki diet
tetap dengan mengurangi makanan yang
berserat tinggi, terutama yang berserat halus serta obat pencahar
(laksatif atau katartik) apa yang pernah dicoba oleh pasien untuk menghilangkan
konstipasi/sembelitnya. Selain itu, pasien juga harus ditanyakan tentang
kombinasi pengobatan yang dilakukan secara bersamaan, yang mungkin dapat
menyebabkan sembelit (Dipiro et al.,
2008).
Dasar dari perawatan dan pencegahan
konstipasi harus terdiri dari usaha pemberian agen yang membentuk bulk disamping modifikasi diet untuk
meningkatkan serat. Untuk beberapa penderita konstipasi akut yang tidak dirawat
di rumah sakit, penggunaan produk laksatif dapat diterima. Namun sebelum pasien
diberikan laksatif ataupun katartik yang lebih poten, sebaiknya dicobakan
terlebih dahulu langkah-langkah pengobatan yang lebih sederhana. Misalnya,
konstipasi akut dapat dihilangkan dengan penggunaan tap-water enema (agen yang menyebabkan terjadinya pemasukan
air ke dalam usus atau kolon melalui anus untuk merangsang buang air
besar) atau suppositoria gliserin. Jika tidak efektif, penggunaan sorbitol
oral, bisakodil atau senna dalam dosis rendah atau saline laksatif (misalnya susu
magnesium) dapat diberikan sebagai pembantu perawatan. Jika pengobatan laksatif
diperlukan untuk lebih dari 1 minggu, orang tersebut dianjurkan untuk
berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan apakah ada penyebab lain yang
mendasari konstipasi sehingga diperlukan pengobatan dari agen lain selain
laksatif (Dipiro et al., 2008).
b.
Terapi Non Farmakologi
Modifikasi gaya hidup perlu dilakukan
sebelum penggunaan laksatif pada konstipasi. Konstipasi biasanya berhubungan
dengan rendahnya asupan serap, kurangnya cairan dan olahraga. Peningkatan
konsumsi serat seperti kacang-kacangan, biji-bijian, sereal, buah-buahan segar
dan sayuran seperti asparagus, kol dan wortel sebanyak 20-35 gram/hari dan
menghindari konsumsi makanan yang rendah serat seperti keju dan es krim. Asupan
cairan yang cukup juga penting (6-8 gelas perhari). Berjalan atau latihan
aerobik lain dapat membantu melatih otot di daerah abdominal yang mendorong
propulsi dalam usus. Selain itu, pasien sebaiknya membiasakan untuk tidak
menunda keinginan untuk buang air besar (Chisholm-Burns et al., 2008).
c. Terapi
Farmakologi
1. Laksatif Stimulan (Stimulant Laxative)
Derivatif
difenilmetana (bisacodyl) dan
antrakuinon (senna) memiliki aksi yang selektif pada saraf pleksus otot polos
usus yang menyebabkan peningkatan motilitas usus (Chisholm-Burns et al., 2008). Semua
obat laksatif stimulan dapat menghasilkan kram nyeri. Disarankan untuk
memulai dengan dosis paling rendah dari kisaran dosis yang dianjurkan,
kemudian dosis dapat ditingkatkan jika
diperlukan. Intensitas efek
laksatif berhubungan dengan dosis
yang digunakan. Laksatif stimulan bekerja dalam 6-12
jam bila digunakan secara oral. Harus digunakan maksimum 1 minggu. Bisacodyl tablet yang dilapisi salut enterik harus ditelan utuh karena bisacodyl
dapat mengiritasi lambung. Jika diberikan sebagai supositoria,
efeknya biasanya terjadi dalam 1 jam
dan kadang-kadang 15 menit setelah insersi (Blenkinsopp et al., 2005).
Natrium
Docusate tampaknya memiliki efek stimulan dan efek melembutkan
tinja, bertindak dalam
waktu 12 hari. Penggunaan dari senna dan cascara
yang tidak terstandardisasi, harus digunakan secara hati-hati, karena dosis dan mekanismenya
tidak bisa ditebak. Minyak jarak adalah obat tradisional untuk konstipasi, yang tidak lagi dianjurkan karena adanya sediaan lain lebih baik. Penggunaan
laksatif stimulan secara terus menerus dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas
otot di dinding usus dan nantinya menyebabkan konstipasi (Blenkinsopp et al., 2005).
2. Pembentuk Massa Feses (bulk laksative)
Bulk
laksatif seperti ispaghula, metilselulosa dan sterculia
memiliki mekanisme yang paling mendekati
dengan fisiologis normal yang
terlibat dalam evakuasi usus
dan dianggap oleh banyak orang sebagai obat pencahar pilihan. Agen ini sangat berguna ketika pasien tidak bisa
atau tidak mau meningkatkan
asupan serat makanan. Bulk laksatif
bekerja dengan cara mengembang di
usus dan meningkatkan massa feses sehingga peristaltik
usus dirangsang. Efek
laksatif dapat memakan
waktu beberapa hari (Blenkinsopp et
al., 2005).
Kandungan
natrium pada bulk laksatif (sebagai natrium bikarbonat) harus dipertimbangkan pada mereka yang memerlukan
pembatasan asupan natrium.
Ketika merekomendasikan penggunaan
bulk laksatif, apoteker harus menyarankan bahwa peningkatan asupan cairan akan
diperlukan. Sebelum mengkonsumsi bulk laksatif, karena
sediaannya dalam bentuk butiran atau bubuk, sediaan harus
dicampur dengan segelas penuh cairan
(misalnya jus buah atau air). Jus buah dapat
menutupi rasa hambar sediaan. Obstruksi usus
mungkin timbul dari asupan cairan yang tidak memadai pada pasien yang
memakai bulk laksatif, terutama yang
ususnya tidak berfungsi dengan baik
sebagai akibat dari penyalahgunaan obat laksatif stimulant (Blenkinsopp et
al., 2005).
3. Laksatif Osmotik (Osmotic Laxatives)
Laktulosa
bekerja dengan menjaga volume cairan dalam usus.
Laksatif osmotik mungkin memerlukan
waktu 1-2 hari untuk bekerja. Laktitol secara kimiawi berhubungan dengan laktulosa dan tersedia dalam sachet. Isi sachet
itu ditaburkan pada
makanan atau dicampurkan dengan
cairan (misalnya jus buah
atau air). Laktulosa dan laktitol dapat menyebabkan perut kembung, kram dan
ketidaknyamanan perut. Garam
Epsom (magnesium sulfat) merupakan pengobatan tradisional yang sementara ini tidak lagi direkomendasikan,
namun masih diminta oleh beberapa pasien yang usianya sudah tua.
Obat ini bekerja dengan menarik air ke dalam usus sehingga menghasilkan peningkatan tekanan motilitas
di usus dan biasanya menghasilkan
gerakan usus dalam beberapa jam. Penggunaan berulang dapat menyebabkan
dehidrasi (Blenkinsopp et al.,
2005).
Gliserin
biasanya diberikan sebagai suppositoria dengan bobot sekitar 3 g dan
menimbulkan efek berupa aksi osmotik di dalam rektum. Seperti kebanyakan agen
yang diberikan dalam bentuk suppositoria, efek biasanya terjadi dalam waktu
kurang dari 30 menit. Kadar yang tinggi dalam suppositoria dapat menimbulkan
iritasi lokal. Gliserin dianggap sebagai pencahar yang aman, meskipun terkadang
dapat menyebabkan iritasi pada dubur. Penggunaannya dapat diterima untuk
konstipasi yang sifatnya berselang (kadang-kadang), terutama pada anak-anak
(Dipiro et al., 2008). Membasahi supositoria sebelum
digunakan akan membuat penggunaannya
lebih mudah (Blenkinsopp et al., 2005).
Refference:
Blenkinsopp, A., Paxton, P.,
Blekinsopp, J. 2005. Symptoms in the
Pharmacy : A Guide to the Management of Common Illness 5th. USA
: Blackwell Publishing.
Burns, M.A., B. G. Wells, T. L.
Schwinghammer, P. M. Malone, J. M.
Kolesar, J. C. Rotschafer, and J. T. DiPiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & practice. New York: The McGraw-Hill Companies.
Dipiro, Joseph .T., Robert L. Talbert.,
Gary C. Yee., Gary R. Matzke., Barbara G. Wells and L. Michael Posey. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach, Seventh Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Endrayani,
B. dan Syarif, B.H. 2004. Konstipasi Fungsional. Sari Pedriati, Vol. 6 (2) :75-80.
McQuaid, K.R,
2006, E-book: Current Medical Diagnosis
& Treatment: Allimentary Tract. 45th Edition.
USA:McGraw-Hill.
Vander, A.J., Sherman, J.H., dan Luciano, D.S. 2001. Human Physiology: The Mechanism
of Body Function. USA: The McGraw−Hill
Companies. P.553-584.
0 komentar:
Post a Comment